Bambang memandang dampak perang dagang akan berimbas pada perubahan iklim perekonomian, termasuk Indonesia. Ia memperkirakan kinerja ekspor akan berpotensi melemah sehingga defisit neraca perdagangan berkepanjangan.
“Laju ekspor sejumlah komoditas unggulan Indonesia, seperti minyak sawit mentah atau crude palm oil dan karet tidak akan mulus lagi,” ucapnya.
Di sisi lain, pasar Indonesia potensial disusupi produk impor, misalnya baja dari Cina. Lantaran volume impor melonjak, permintaan valuta asing akan meningkat. Tingginya permintaan valuta asing ini dapat mendepresiasi rupiah.
Dalam kondisi demikian, pemerintah dan dewan perlu memastikan bahwa dampak perang dagang yang berkepanjangan tidak menimbulkan kerusakan serius di Indonesia. “Untuk itu, TNI dan Polri harus memastikan terjaganya stabilitas keamanan nasional dan ketertiban umum,” ucapnya.
Namun, Bambang optimistis Indonesia mumpuni menghadapi sentimen perdagangan global. Ia berpendapat, Indonesia saat ini masih sangat potensial menarik investasi asing. Salah satunya karena pembangunan infrastruktur telah digeber merata di hampir semua daerah. Pembangunan infrastruktur yang masih juga dapat menjaring investor lokal.
Dalam kondisi pasar global yang memanas, Bambang mengatakan Indonesia masih memiliki modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yakni melalui konsumsi masyarakat. Selain itu, Indonesia memiliki modal kepercayaan dari komunitas pebisnis mancanegara, yang dibuktikan melalui pemeringkatan internasional yang diraih, seperti Standard and Poor's atau S&P Global Rating, Fitch Ratings, dan Moody’s.
Baca berita tentang Perang Dagang lainnya di Tempo.co.