TEMPO.CO, Jakarta - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. telah dijatuhi hukuman denda A$ 19 juta (sekitar Rp 190 M) oleh pengadilan Federal Australia karena dugaan terlibat dalam praktek kartel dengan berbagai maskapai lainnya dalam mengatur pengiriman kargo.
Baca: Diputus Bersalah, Garuda Indonesia: Pengadilan Australia Tak Adil
Keputusan penjatuhan denda dikeluarkan hari Kamis lalu , 30 Mei 2019 di Canberra dan mendapat sambutan baik dari Komisi Perlindungan Konsumen Australia (ACCC). ACCC sebelumnya mengajukan kasus persekongkolan kartel ini yang melibatkan berbagai maskapai penerbangan internasional yang mengajukan kasusnya di tahun 2008-2010.
Sebanyak 14 maskapai penerbangan internasional, termasuk Garuda, diajukan dalam kasus kartel tersebut. Peristiwa kartel yang dituduhkan sendiri terjadi di tahun 2002-2006.
Maskapai lain yang dituduh adalah Air Zealand, Qantas, Singapore Airlines, dan Cathay Pacific. Secara keseluruhan, pengadilan federal Australia menjatuhkan denda sebesar A$ 132 juta, atau lebih dari Rp 1,3 triliun.
Pengadilan mengatakan bahwa antara 2003 dan 2006, Garuda Indonesia setuju untuk melakukan kesepakatan yang menetapkan tarif biaya keamanan dan biaya bahan bakar, serta biaya bea cukai dari Indonesia. Oleh karena itu, Garuda Indonesia dikenai denda $A 15 juta dan tambahan denda $A 4 juta karena penerapan tarif asuransi dan bahan bakar dari Hong Kong.
"Penetapan harga adalah masalah serius karena hal itu secara tidak adil mengurangi persaingan di pasar untuk bisnis dan konsumen Australia, dan kartel internasional ini adalah salah satu contoh terburuk yang telah kita lihat," kata Ketua ACCC Rod Sims.
Rod Sims menyatakan pihaknya akan terus mengejar praktek kartel yang dilakukan operator domestik dan luar negeri. "Hukuman total yang dijatuhkan terhadap semua maskapai yang terlibat akan mengirim pesan untuk membuat mereka jera," katanya
Kasus yang diajukan ACCC ini sebetulnya sudah berlangsung lama. Di tahun 2014, pengadilan federal Australia sebenarnya sudah memutuskan bahwa kasus ACCC terhadap Air New Zealand dan Garuda Indonesia tidak layak sebagai kasus. Namun ACCC kemudian mengajukan banding dan pengadilan kemudian menerima banding ACCC dan akhirnya bisa disidangkan.
Terkait hal itu, Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan menilai putusan perkara dugaan kesepakatan dan price fixing untuk rute pengangkutan kargo menuju jurisdiksi Australia itu tidak adil dan mengada-ada.
"Kami menganggap perkara ini tidak fair dan tidak pernah melakukan praktek tersebut dalam bisnisnya. Tuduhan ini tidak patut dikenakan kepada kami sebagai BUMN yang merupakan salah satu instrumen negara," kata Ikhsan dalam siaran pers, Jumat, 31 Mei 2019.
Ikhsan menambahkan, denda dalam perkara ini juga seharusnya tidak lebih dari A$ 2,5 juta. Hal ini dengan pertimbangan bahwa pendapatan pengangkutan kargo Garuda dari Indonesia pada saat kejadian perkara ini terjadi adalah sebesar US$ 1,098 juta dan pendapatan pengangkutan kargo dari Hong Kong sebesar US$ 656.000.
Pihaknya menjelaskan, terkait dengan putusan pengadilan Australia ini Garuda telah berkoordinasi intens dengan Kedubes Australia sejak 2012 dan Tim Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri sejak 2016. Terlebih kasus hukum ini menyangkut interstate diplomacy.
Baca: Buntut Tiket Pesawat Rp 21 Juta, Traveloka Diminta Rombak Tampilan Aplikasi
Garuda Indonesia sebelumnya juga telah berkoordinasi secara rutin dengan KPPU Indonesia. "Upaya hukum selanjutnya masih akan dibahas dengan tim hukum internal kami, tunggu saja," ujar Ikhsan.
ABC | BISNIS