TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan atas Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2018 dalam sidang paripurna ke-18 DPR RI. Dalam laporannya, BPK memberi memberikan tujuh poin masukan kepada pemerintah.
Baca:
Tanpa Wagub, Anies Optimistis DKI Bisa Raih Opini WTP
"Kami perlu menyampaikan hasil pemeriksaan atas sistem pengendalian intern dan kepatuhan untuk perbaikan ke depan, antara lain sebagai berikut," kata Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara saat membacakan laporan di ruang rapat paripurna, Gedung Nusantara II DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 28 Mei 2019.
Adapun ketujuh masukan ini yaitu pertama, belum ada penetapan standar akuntansi dalam kebijakan pelaporan atas kebijakan pemerintah yang menimbulkan dampak terhadap pos-pos Laporan Realisasi Anggaran (LRA) atau neraca. Kondisi yang sama juga terjadi pada pelaporan kelebihan dan/atau kekurangan pendapatan bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kedua, belum adanya penetapan terhadap dasar hukum, metode perhitungan, dan mekanisme penyelesaian kompensasi atas dampak kebijakan penetapan tarif tenaga listrik non-subsidi. Selama ini, tarif tenaga listrik ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM.
Ketiga, pencatatan, rekonsiliasi dan monitoring evaluasi aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan Perjanjian Kerja Sama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) belum memadai.
Keempat, skema pengalokasian anggaran dan realisasi pendanaan pengadaan tanah Proyek Strategis Nasional (PSN) pada pos pembiayaan belum didukung standar dan kebijakan akuntansi yang lengkap.
Kelima, data sumber perhitungan alokasi afimasi dan alokasi formula pada pengalokasian Dana Desa tahun anggaran 2018 belum cukup andal.
Keenam, pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik tahun anggaran 2018 sebesar Rp 15,51 triliun belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan dan tidak didukung dengan dokumen sumber yang memadai.
Baca: INVESTIGASI: DKI Raih Opini WTP Meski Banyak Aset Terancam Hilang
Terakhir, atau ketujuh, yaitu adanya kelemahan pengendalian internal dan ketidakpatuhan dalam penatausahaan dan pencatatan pada sejumlah komponen. Di antaranya yaitu kas setara kas, PNBP (Pendapatan Nasional Bukan Pajak), belanja, piutang PNBP, persediaan, aset tetap, dan utang, terutama pada Kementerian Negara dan Lembaga.
Baca topik tentang Laporan BPK lainnya di Tempo.co
FAJAR PEBRIANTO