TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti menjawab kritik mengenai utang pemerintah. Ia mengakui bahwa secara nominal utang pemerintah bertambah jika dihitung sejak akhir April 2018.
Baca juga: Utang Pemerintah per April 2019 Turun Rp 3.886 T
Namun, ia berujar dalam satu bulan terakhir angkanya sudah mengalami penurunan Rp 38,6 triliun. "Ini berarti dalam satu bulan bisa turun 11 persen lebih dibandingkan dengan kenaikan tersebut," kata Nufransa dalam pesan singkat, Sabtu, 18 Mei 2019.
Di samping itu, Nufransa mengatakan kebijakan pembiayaan melalui utang itu sejatinya bukan hanya keputusan pemerintah semata. Kebijakan itu, ujarnya, adalah produk bersama antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. "Sudah disetujui wakil rakyat yang duduk di DPR."
Lagipula, ujar Nufransa, kegiatan yang dibiayai dari utang itu telah menghasilkan aset bagi negara. Aset itu ada yang berwujud nyata seperti infrastruktur, maupun yang tidak berwujud seperti sumber daya manusia yang berkualitas. Aset tersebut dinilai dapat menjadi pengungkit bagi perekonomian.
"Hasilnya terlihat cukup nyata dan dinikmati seluruh golongan, di mana terlihat angka kemiskinan dapat diturunkan menjadi hanya satu digit sebesar 9,66 persen dan angka tingkat pengangguran terbuka turun menjadi 5,01 persen," kata Nufransa.
Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia pada akhir triwulan I 2019 menyentuh US$ 387,6 miliar. Angka tersebut tersebut tumbuh 7,9 persen ketimbang tahun lalu, atau lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya.
Atas catatan itu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance alias Indef Bhima Yudhistira menyebut pemerintah terlalu agresif dalam menerbitkan utang di tengah kondisi global dan domestik yang meningkat resikonya.
Terlebih imbas suku bunga mahal membuat bunga utang SBN secara rata-rata tinggi di 7-8 persen. "Konsekuensinya beban cicilan pokok dan pembayaran bunga utang makin tekan APBN," kata Bhima.
Padahal, ujar Bhima, utang terbukti belum mampu ciptakan stimulus untuk perekonomian. Kata dia, pembangunan infrastruktur yang didanai utang beberapa ada yang under capacity atau dibawah kapasitas penggunaan karena rencana kurang matang. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi juga tercatat hanya 5 persen.
"Besarnya front loading utang di awal tahun faktanya belum mampu dorong konsumsi rumah tangga di kuartal I. Bisa dicek konsumsi hanya tumbuh di 5 persen," kata Bhima. Padahal, pemerintah sudah banyak menggelontorkan biaya untuk belanja, misalnya untuk bantuan sosial, dana desa, gaji pegawai dan belanja pemilu yang sebagian didanai dari pinjaman.