TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Riset Center of Reform on Economics Piter Abdullah menilai pertumbuhan utang luar negeri yang mencapai 7,9 persen pada triwulan I 2019 terhitung masih aman. Namun, ia berpendapat persoalan peran fiskal bukan hanya pada besarnya utang pemerintah, melainkan pada fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara itu sendiri.
Baca juga: Triwulan I 2019, Utang Luar Negeri Tembus USD 387,6 Miliar
"APBN adalah tools bagi pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi agar bisa mensejahterakan masyarakat. Sejauh ini pemerintah belum maksimal memanfaatkan APBN sesuai fungsinya itu," ujar Piter dalam pesan singkat, Sabtu, 18 Mei 2019.
Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia pada akhir triwulan I 2019 tembus US$ 387,6 miliar. ULN Indonesia tersebut tumbuh 7,9 persen year on year lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya.
Peter melihat APBN belum dimanfaatkan secara maksimal lantaran pertumbuhan ekonomi Indonesia terjebak di kisaran 5 persen dan itu berbahaya. Sebab, dengan pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen, maka lapangan kerja yang tersedia untuk tenaga kerja Indonesia tidak akan cukup. Imbasnya, pengangguran akan terus meningkat dan memuncak pada 2030.
"Pada tahun itu kita alih-alih mendapatkan bonus demografi, yang akan kita dapatkan adalah bencana demografi yang ditandai oleh meledaknya angka pengangguran. Ini akan terjadi kalau kita hanya tumbuh rata-rata 5 persen sampai dengan tahun 2030," kata Piter.
Untuk memaksimalkan fungsi APBN dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, Piter berpendapat seharusnya APBN tidak terlalu konservatif dengan batasan defisit 3 persen dari Produk Domestik Bruto. Ia menyebut seharusnya APBN punya ruang pada kapan defisitnya boleh lebih dari 3 persen dan kapan harus di bawah 3 persen.
"APBN bisa bersifat counter cyclical. Apabila strategi pengelolaan APBN ini kita pilih maka utang pemerintah seharusnya tidak lagi menjadi isu," kata Piter.
Sebab, ujar Piter, pertumbuhan utang sejatinya adalah konsekuensi dari defisit APBN yang ditetapkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Ukuran pertambahan utang masih baik atau sudah berbahaya harus diawali dengan melihat APBN dan defisitnya. Setelah itu, baru lah dilihat rasio-rasio terkait utang itu sendiri.
"Kalau kita lihat APBN dan defisitnya, saya harus mengatakan masih sangat baik bahkan dapat dikategorikan terlalu konservatif. Batasan defisit APBN sebesar 3 persen PDB itu sangat ketat. Terlalu konservatif," kata Piter.
Dari sisi rasio utang, dia mengatakan kondisi utang masih sangat aman. Rasio utang pemerintah terhadap PDB masih di kisaran 30 persen, jauh di bawah batas aman di kisaran 60 persen.
"Yang perlu sedikit jadi perhatian adalah porsi ULN dan debt service ratio yang masih tinggi, tapi belum terlalu buruk, buktinya pemerintah tidak pernah gagal bayar," kata Piter. "Artinya utang luar negeri masih dalam batas aman dan pemerintah juga terus berupaya mengurangi porsi utang luar negeri."