TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Riset Center of Reform on Economics Piter Abdullah mengatakan kebijakan kewajiban penggunaan bahan bakar minyak dengan campuran minyak sawit 20 persen alias B20 belum ampuh mengatasi defisit neraca minyak dan gas alias migas.
Baca juga: Defisit APBN April Tembus Rp 101 T, Sri Mulyani: Masih Terkendali
Padahal, defisit neraca migas diduga merupakan penyebab utama dari defisit neraca perdagangan April 2019. Saat ini, produksi minyak di dalam negeri masih jauh di bawah kebutuhan konsumsi Indonesia. "Kewajiban B20 saja tidak cukup," ujar Piter dalam pesan singkat kepada Tempo, Jumat, 17 Mei 2019.
Penerapan mandatori B20 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menekan defisit minyak di Tanah Air. Selain bisa meningkatkan konsumsi dari minyak sawit lokal, B20 diharapkan bisa mengurangi kebutuhan impor solar Indonesia.
Namun, Piter melihat langkah itu belum menjadi solusi dari penyebab utama defisit migas, yaitu minimnya produksi dibandingkan dengan kebutuhan di dalam negeri. Apalagi, lifting minyak Indonesia terus merosot dari tahun ke tahun dan kini hanya di kisaran 700 ribu barel per hari.
Padahal, kebutuhan total minyak mentah dan minyak refinery Indonesia berdasa di atas 1 juta barel per hari. "Kewajiban B20 memang akan mengurangi kebutuhan impor solar, tetapi tidak mengatasi penurunan produksi atau lifting minyak," kata Piter.
Karena itu, Piter menyebut pemerintah perlu mengkaji kenapa investasi penanaman modal asing untuk eksplorasi sumur-sumur baru terhenti. Padahal, bagi investor, minyak Indonesia masih sangat menjanjikan untuk investasi. "Untuk menaikkan lifting, investasi eksplorasi minyak ini harus ditingkatkan secara masif."
Senada dengan Piter, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance alias Indef Bhima Yudhistira mengatakan kebijakan penyerapan pasokan B20 belum efektif kurangi impor solar karena terkendala beberapa masalah. Misalnya saja dari sisi pasokan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) yang diperlukan untuk campuran solar agar menjadi biodiesel belum memenuhi target.
"Segmentasi penggunaan B20 juga masih terbatas pada kendaraan tertentu dan alat berat, di luar Jawa pun masih ada kekurangan pasokan," kata Bhima. "Jadi, persiapan kurang matang. Ini jadi beban Pertamina."
Kemarin, Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat neraca perdagangan pada April 2019 mengalami defisit sebesar US$ 2,5 miliar. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, angka defisit ini berasal dari nilai impor yang mencapai US$ 15,09 miliar, sementara capaian ekspor hanya sebesar US$ 12,59 miliar.