TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Gubernur Bank Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan pasar keuangan di Indonesia kembali mendapat tekanan akibat ketegangan atau perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Ketegangan yang terjadi berdampak langsung ke banyak negara, terutama negara-negara berkembang.
Baca: Khawatir THR Telat Cair, Tjahjo Kumolo Surati Sri Mulyani
"Year to date (ytd) sampai dengan Mei, bisa dikatakan net-nya adalah capital outflow hampir di semua instrumen," kata Dody dalam acara Penandatanganan Perjanjian Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang di Gedung Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat, 17 Mei 2019.
Padahal sebelumnya arus modal year to date sejak Januari hingga April masih mencatatkan capital inflow secara signifikan. "Jadi pertanyaannya, apakah ini akan terus berlangsung? Apakah ini permanen? " ujarnya.
BI berharap situasi ini hanya berlangsung sementara. Sebabnya dampak perang dagang terasa bagi perekonomian negara berkembang seperti Indonesia.
Saat ini perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina yang semula sempat mereda kembali memanas. Pemerintah Amerika di bawah Presiden Donald Trump pada 11 Mei 2019 menaikkan tarif impor 25 persen untuk 5.700 jenis barang produk Cina. Tiga hari kemudian, giliran Cina yang menaikkan tarif impor barang dari Amerika Serikat senilai US$60 miliar atau sekitar Rp 870 triliun yang berlaku mulai 1 Juni mendatang.
Selain itu, Dody juga menjelaskan bagaimana pada April 2019, neraca perdagangan mengalami defisit hingga US$ 2,5 miliar. Angka pertumbuhan ekonomi juga berada di bawah perkiraan semua pihak, termasuk BI. Terakhir pada kuartal I 2019 misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,07 persen, di bawah perkiraan BI sebesar 5,2 persen.
Kemudian, kata Dody, BI tidak menyangka bahwa realisasi investasi cukup rendah. Pada 30 April 3019, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melaporkan realisasi investasi kuartal I-2019 mencapai Rp 195,1 triliun atau naik 5,3 persen year-on-year (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, angka ini lebih rendah dari pertumbuhan tahun lalu yang mencapai 11,8 persen yoy.
Semua kondisi ini, kata Dody, berawal dari dampak perang dagang AS-Cina. Salah satunya membuat perdagangan dunia melambat dan berpengaruh ke kinerja ekspor Indonesia. Untungnya kinerja konsumsi Indonesia masih cukup bertahan sehingga masih bisa membawa ekonomi Indonesia tumbuh 5,07 persen.