TEMPO.CO, Jakarta - Ajakan Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono kepada pendukung Prabowo Subianto – Sandiaga Uno untuk memboikot pajak sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap pemerintah baru hasil Pemilihan Presiden 2019 dinilai sebagai hal yang konyol. “Tentu saja ajakan ini selain konyol, juga berbahaya,” ujar Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, Rabu, 15 Mei 2019.
Baca: Kubu Prabowo Ajak Boikot Hasil Pilpres dengan Tolak Bayar Paja
Prastowo menyebutkan setidaknya ada lima poin yang melatarbelakangi pendapatnya soal ajakan boikot pajak sebagai hal yang konyol dan berbahaya itu. Pertama, sudah jauh hari diatur tentang gugatan terhadap pemilu bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi.
Tanpa mengikuti prosedur yang berlaku, menurut Prastowo, berbagai klaim dan tuduhan tersebut hanya akan mendelegitimasi seluruh institusi formal kenegaraan. “Ini tak lebih dari ratapan kegalauan kontestan yang tak siap kalah,” ucapnya.
Kedua, ajakan tidak mengakui pemerintahan yang sah hasil pemilu yang demokratis dan sah, memiliki konsekuensi dan risiko pelanggaran pada kewajiban dan tanggung jawab kewargaan. Prastowo menilai sebagian pelanggaran tersebut bahkan memiliki konsekuensi hukum, termasuk pidana.
“Tidak membayar pajak padahal kita wajib membayarnya adalah pelanggaran Undang-undang Perpajakan,” kata Prastowo. Ia menegaskan bahwa pelanggaran ini melekat secara individual bagi tiap wajib pajak.
Ketiga, menurut Prastowo, boikot pajak tidak saja buruk secara moral tetapi juga merugikan kepentingan nasional, terutama merugikan sebagian besar rakyat Indonesia yang selama ini menikmati layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, subsidi, dana desa, dan lainnya. Belum lagi belanja infrastruktur, pertahanan, keamanan, birokrasi, dan lain-lain. “Dengan kata lain, ajakan memboikot pajak adalah ajakan memperburuk keadaan yang merugikan rakyat Indonesia.”
Keempat, Prastowo menyebutkan civil disobedience termasuk di dalamnya tidak membayar pajak hanya legitim secara moral, jika pemerintah yang memungut pajak berperilaku korup, melanggar HAM, otoriter, dan tidak akuntabel. “Ciri corak demikian dengan amat mudah dikenali tidak terdapat pada rezim pemerintahan pasca Orde Baru,” tuturnya.
Terakhir, atau kelima, Prastowo menilai, ajakan boikot pajak berarti memberi pembenaran pada perilaku mengemplang pajak dan sangat rawan ditunggangi para pengemplang pajak yang selama ini memang enggan membayar pajak. “Artinya, ajakan memboikot bayar pajak ini tak lain kolaborasi hitam yang melebihi ajakan makar karena mengeroposkan fondasi negara dan menghancurkan modal sosial yang penting untuk keberlanjutan pembangunan,” ucapnya.
Hal tersebut patut disayangkan, menurut Prastowo, sebab saat ini kondisi kepatuhan pajak di Indonesia masih cukup memprihatinkan. “Masih terdapat banyak orang yang seharusnya membayar pajak, namun tidak membayar pajak sebagaimana mestinya. Tingkat penghindaran pajak pun masih tinggi.”
Oleh karena itu Prastowo menilai seruan Arief Poyuono itu selayaknya tak ditanggapi dan dianggap lelucon saja. “Selain tidak mendidik dan tak memiliki legitimasi moral, juga destruktif terhadap upaya pencapaian tujuan bernegara,” ucapnya.
Ancaman boikot pajak juga menjadi viral dan ramai diperbincangkan oleh netizen di sejumlah media sosial. Ada yang khawatir ajakan boikot pajak hanya akan berdampak buruk terhadap negara. "Wah! Jangan campaign boikot pajak dong.. Bisa ancur-ancuran negeri ini.." cuit @Gerak_Langkah di media sosial Twitter.
Ajakan boikot pajak juga dinilai hanya akan berbalik menyerang kubu Prabowo. "Lha ayo kuat kuatan boikot. Tolak pelantikan anggota dewan terpilih dari partai partai kubu 02. Klpun dilantik juga, jangan digaji mereka.. krn uang untuk gaji mereka yg bersumber dari pajak sdh diboikot atas anjuran mereka sendiri," seperti dikutip dari cuitan @Wib_1800ly.
Sebelumnya Arief Poyuono menyatakan seruan boikot pajak itu sebagai bentuk pelaksanaan hak masyarakat karena mengakui pemerintahan hasil Pilpres 2019. “Tolak bayar pajak kepada pemerintahan hasil Pilpres 2019 yang dihasilkan oleh KPU yang tidak legitimate,” ujar Arief seperti dikutip dari siaran pers yang diterima, Rabu, 15 Mei 2019. “Itu adalah hak masyarakat karena tidak mengakui pemerintahan hasil Pilpres 2019.
Hal ini disampaikan Arief khusus kepada masyarakat yang memilih Prabowo dan Sandiaga dalam pemilu sebelumnya. “Jika terus dipaksakan hasil pilpres 2019 untuk membentuk pemerintahan baru, maka masyarakat tidak perlu lagi mengakui pemerintahan yang dihasilkan Pilpres 2019,” katanya.
Baca: Pendukung Prabowo Diajak Boikot Pajak, Netizen Meradang
Jika sebuah pemerintahan yang terbentuk oleh sebuah hasil pemilu yang tidak legitimate dan mayoritas rakyat tidak mengakui hasil pemilu yang curang, tidak bersih dan adil maka masyarakat punya hak untuk tidak tunduk pada UU dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintahan tersebut. “Punya hak untuk tidak menjalankan kewajiban untuk bayar pajak,” ucap Arief Poyuono. “Dulu saja untuk menolak UU Tax Amnesty saya serukan para pekerja jangan bayar pajak.”
Simak berita lainnya terkait Prabowo di Tempo.co.