INFO BISNIS -- Pengelolaan data merupakan hal penting dalam mempercepat pembangunan desa. Data merupakan unsur utama yang menentukan tingkat kualitas kebijakan. Data yang baik akan menghasilkan rumusan bahan kebijakan yang baik.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Anwar Sanusi dalam rapat Koordinasi Sistem Pengelolaan Data dalam Pembangunan Desa di Hotel Amaroossa Bogor, Jawa Barat, Rabu, 8 Mei 2019.
Terkait dengan data desa, kata Anwar, sumbernya ada di hasil pendataan potensi desa (Podes) yang dilakukan tiga tahun sekali oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, karena ada jeda waktu, tiap tahun ada kesulitan. Sebab itu, bersama dengan BPS melakukan survei tiap tahun.
Lebih lanjut, Anwar mengatakan, dalam pengelolaan data, perlu diintegrasikan berbagai indeks, baik yang dikeluarkan BPS, Bappenas, Kementerian Desa, Kementerian Dalam Negeri, maupun lainnya, sehingga pada 2020—2024, ada data bersama untuk mengambil keputusan, terutama pada desa. Selain Podes, ada IDM dan IPD sebagai basis mengeluarkan prioritas penggunaan dana desa.
"Rancangan RPJMN 2020—2024 ada target 7.000 desa tertinggal dientaskan dan 3.000 desa mandiri diciptakan. Sebelumnya, 5.000 desa tertinggal dientaskan dan 2.500 desa mandiri diciptakan. Kita harus betul-betul meyakinkan setiap intervensi yang kita laksanakan. Dana desa akan naik komitmen Rp 75 triliun hingga total Rp 400 triliun pada 2024. Kalau tidak dikawal, akan jadi bom waktu. Itulah pentingnya kualitas data untuk memperbaiki kebijakan," ujarnya.
Ia melanjutkan harus dari data yang akurat sehingga rekomendasi yang diberikan kepada desa yang bersangkutan bisa masuk akal. Kemudian perlu juga diperhatikan bagaimana menghasilkan data yang bisa mencerminkan tingkat intervensi dari dana desa terhadap perubahan situasi yang ada di desa. Dengan data akurat, berbagai kegiatan akan tepat sasaran.
Sementara itu Advisor Kementerian Desa Roosary Tyas Wardani mengatakan pentingnya data untuk menunjang tepatnya sasaran suatu kegiatan. Ia mencontohkan, jika Musrenbangdesa melakukan suatu kegiatan, dengan data yang akurat menjadi tahu persis kebutuhan serta problemanya.
Dalam Undang-Undang Desa Pasal 86 menyatakan desa berhak mendapat akses informasi melalui sistem informasi desa (SID). Begitu juga dalam Peraturan Menteri Desa No 10 Tahun 2015 Pasal 11 ayat 3. Melihat pentingnya SID tersebut, ia menyarankan perlunya para pendamping melakukan sosialisasi SID. "SID saat sosialisasi dengan pendamping sehingga SID menjadi modul pembelajaran. Jadi ada transfer knowledge untuk pemerintahan desa, bisa juga dalam akademi desa,” ujarnya.
Di Kabupaten Bogor sendiri, ada 261 desa yang belum menerapkan SID, 139 desa sudah menerapkan secara offline, dan baru ada 16 desa yang sudah menerapkan secara online.
"Belum semua bupati melakukan SID, jadi data masih ujug-ujug. Jadi data sangat penting, yang mengumpulkan data harus benar. Pakai saluran metode pendataan yang ada seperti SID sehingga bangun desa tepat sasaran," kata Roosary.
Sejalan dengan itu, Kepala Biro Perencanaan Muhammad Rizal mengatakan masalah data menjadi penting guna mendapat perkembangan pembangunan desa karena kekosongan data akan menyulitkan.
"Dengan adanya rapat koordinasi ini, diharapkan bisa mensinkronkan antara pemerintah pusat, provinsi, pemkab, dan Prtides. Kabupaten Bogor punya komitmen regulasi sistem informasi desa. Salah satunya desa percontohan melalui SIPBM (Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat) dari UNICEF," tuturnya.
Rapat koordinasi ini membahas juga mengelola kebijakan tentang sistem pengelolaan desa seperti terkait dengan regulasi dan rumusan kebijakan. Kemudian FGD dalam bentuk aplikasi yang akan dilakukan pelakunya langsung. Selain dihadiri pejabat Kementerian Desa, acara ini dihadiri pemerintah Daerah Bogor, PMD Jawa Barat, LPPM IPB, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, serta TA P3MD Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bogor. (*)