TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan tak berkomentar banyak mengenai rencana The Boeing Company memindahkan pengadilan atas gugatan hukum kecelakaan pesawat 737 MAX dari pengadilan di Amerika Serikat ke Indonesia, lokasi kecelakaan terjadi.
Baca: Luhut Sebut Pindah Ibu Kota Lebih Murah Ketimbang Membangun DKI
Pasalnya, ia belum mengetahui secara pasti mengenai wacana tersebut. "Saya masih belum dengar," ujar Luhut saat berbincang dengan awak media di kantornya, Jakarta, Rabu, 8 Mei 2019.
Dilansir Bloomberg, produsen pesawat terbesar di dunia ini mengindikasikan dalam pengajuan pengadilan bahwa kemungkinan akan meminta kasus-kasus atas nama korban dalam kecelakaan 737 MAX Oktober silam dipindahkan dari gedung pengadilan federal di Chicago ke Indonesia.
Pada Selasa, 30 April 2019, seorang hakim federal mengatakan kepada perusahaan bahwa mereka harus mengajukan permintaan dalam waktu 45 hari, menurut pengacara penggugat. Mereka jika dapat memindahkan kasus ini ke Indonesia, Boeing akan memikul tanggung jawab dan kewajiban keuangan yang lebih kecil.
Boeing mengatakan ada preseden untuk kasus-kasus seperti itu agar disidangkan di negara tempat kecelakaan tersebut terjadi. Salah satu pengacara yang mewakili Boeing, Bates McIntyre Larson, mengatakan dia tidak bisa berkomentar tentang proses pengadilan yang tertunda.
Sementara itu, Timothy Ravich, profesor hukum penerbangan di University of Central Florida yang telah mewakili para terdakwa dalam kasus-kasus penerbangan, mengatakan permintaan perubahan tempat seperti itu tidak selalu dikabulkan. Boeing akan berpendapat bahwa kasus harus digelar di Indonesia karena pesawat itu jatuh di sana dan diterbangkan oleh pilot asal Indonesia.
Adapun sejumlah keluarga korban pesawat Lion Air JT 610 menolak keinginan Boeing Co memindahkan lokasi sidang tuntutan dari Amerika Serikat ke Indonesia. Pengacara Hermann Law Group untuk Indonesia, Columbanus Priandanto, yang mewakili 21 keluarga korban, mengatakan ada dua hal yang membuat kliennya keberatan dengan permintaan Boeing. “Pertama karena sistem pengadilan di Amerika lebih obyektif dan independen,” ujar Columbanus saat dihubungi Tempo pada Kamis malam, 2 Mei 2019.
Alasan kedua, karena alasan hukum penerbangan internasional. Columbanus mengatakan, bila sidang dilakukan di Amerika Serikat, pelapor bisa menuntut Boeing dengan sistem Konvensi Montreal melalui Konvensi Unifikasi Aturan-aturan Tertentu tentang Angkutan Udara Internasional.
Baca: Faisal Basri Sebut Luhut, Enggar, dan Rini adalah Lemak di Kabinet Jokowi
Konvensi Montreal memungkinkan perusahaan membayar ganti rugi hingga US$ 135 ribu untuk masing-masing korban. Menurut Columbanus, para keluarga korban berhak memperoleh ganti rugi atas kehilangan yang menimpa mereka.
FRANCISCA CHRISTY | BISNIS