TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil memastikan bahwa pemindahan ibu kota tidak mengubah Jakarta untuk tetap menjadi pusat kota bisnis.
Baca: Luhut Sebut Pindah Ibu Kota Lebih Murah Ketimbang Membangun DKI
"Jadi, (wilayah) ibu kota baru tidak akan jadi kota bisnis. Karena pengalaman seperti New York sama Washington. Brasilia dengan Rio De Janeiro," kata Sofyan Djalil, Jumat, 3 Mei 2019.
Sofyan Djalil mencontohkan, banyak negara yang memindahkan ibu kotanya, namun tidak memengaruhi kegiatan bisnis yang sudah berdiri di areal ibu kota lama. Pertumbuhan infrastuktur dan kegiatan bisnis di ibu kota baru akan terjadi, namun tidak akan semasif kegiatan bisnis yang sudah bergerak di wilayah ibu kota sebelumnya.
"(Infrastuktur bisnis) itu akan tumbuh, tapi tidak akan masif," kata Sofyan Djalil. "Karena (infrastruktur dan kegiatan) bisnis akan (tetap berada) di kota bisnis (yang sudah ada di wilayah ibu kota sebelumnya)."
Lebih jauh Sofyan Djalil mengatakan di negara lain, kota untuk pusat pemerintahan dan kota bisnis biasanya sudah berada di wilayah yang berbeda. Walhasil wacana pemindahan ibu kota menurutnya merupakan ide yang wajar dan dapat diterima.
Di Indonesia, menurut Sofyan Djalil, wacana pemindahan ibu kota di Indonesia bukanlah hal yang baru sudah ada sejak periode pemerintahan Presiden Soekarno. "Di negara lain biasanya kota bisnis dan pemerintahan pisah. Ide pindah ibu kota bukan baru sekarang, pas Presiden Soekarno aja sudah. Zaman Presiden Soeharto juga pernah. Bahkan banyak orang spekulasi beli tanah di Jonggol, Bogor," katanya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota ke luar Pulau Jawa. Keputusan diambil dalam rapat terbatas mengenai pemindahan Ibu Kota di Kantor Presiden, Jakarta, Senin lalu, 29 April 2019.
"Presiden memilih alternatif ketiga, yaitu memindahkan Ibu Kota ke luar Jawa. Ini barangkali salah satu keputusan penting yang dilahirkan hari ini," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro.
Sebelumnya Bappenas memberikan tiga alternatif kepada Jokowi. Alternatif pertama adalah Ibu Kota tetap di Jakarta, namun dibuat distrik khusus pemerintahan. Kantor-kantor pemerintahan itu nantinya akan berpusat di kawasan Istana, Monas, dan sekitarnya.
Bambang menyebutkan kerugian dari alternatif pertama ini ialah hanya menguatkan Jakarta sebagai pusat segalanya di Indonesia. "Dan dikhawatirkan dampak urbanisasi terhadap pertumbuhan ekonomi tidak optimal," katanya.
Adapun alternatif kedua adalah memindahkan pusat pemerintahan ke wilayah dekat Jakarta. Mencontoh Malaysia yang memindahkan pusat pemerintahannya ke Putrajaya, Bambang mengusulkan agar Ibu Kota Indonesia dipindah ke sekitar Jabodetabek jika tersedia lahan.
Namun, kelemahan dari alternatif kedua ini adalah tetap membuat perekonomian Indonesia terpusat di daerah Jakarta dan sekitarnya atau wilayah kota metropolitan Jakarta.
Baca: Fadli Zon: Ide Jokowi Pindahkan Ibu Kota Hanya Pengalihan Isu
Alternatif ketiga yang dipilih Jokowi yaitu memindahkan Ibu Kota langsung ke luar Jawa, seperti mencontoh Brasil yang memindahkan dari Rio de Janeiro ke Brasilia yang jauh di Amazon. Kemudian Canberra di antara Sydney dan Melbourne. Demikian juga Astana di Kazakhstan karena Ibu Kotanya ingin dipindah lebih dekat ke arah tengah dari negaranya. Juga Naypyidaw yang juga lebih ke dalam negara Myanmar.
BISNIS