TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Keuangan BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso mengatakan defisit bakal terus menimpa perusahaan jika besaran iuran tak sesuai dengan perhitungan. Menurut dia, perhitungan iuran BPJS Kesehatan untuk golongan Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari pemerintah saat ini belum memadai.
Baca juga: Siap-siap, Sri Mulyani Beri Sinyal Iuran BPJS Kesehatan Naik
"Sebenarnya masih akan defisit, akan tetap defisit sepanjang iurannya belum sesuai dengan perhitungan iuran secara aktuaria," kata Kemal ditemui di kantor BPJS Kesehatan Jakarta Pusat, Senin 29 April 2019.
Kemal menjelaskan sebenarnya dua tahun lalu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pernah membuat studi soal perhitungan mengenai premi iuran minimal tersebut. Dalam kajian itu, disebutkan bahwa jumlah premi minimum yang harus dibayarkan senilai Rp 36 ribu.
Sebelumnya, pemerintah dikabarkan mulai berancang-ancang menaikkan iuran BPJS Kesehatan segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan jumlah penerimanya. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pihaknya mulai mempertimbangkan peluang kenaikan iuran PBI dari yang saat ini sekitar Rp 23 ribu per orang.
"Belum ditetapkan namun sudah ada ancang-ancang untuk menaikkan. Juga jumlah penerimanya dinaikkan jadi di atas 100 juta orang," ujarnya di Istana Bogor, Selasa, 23 April 2019.
Akan tetapi, mantan direktur pelaksana Bank Dunia ini memastikan rencana tersebut akan ditetapkan setelah hasil audit keuangan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Sebelumnya, pemerintah sudah membayar iuran PBI ke BPJS Kesehatan untuk periode tiga bulan pertama pada 2019 senilai Rp 8,4 triliun. Pembayaran tersebut dimaksudkan untuk menjaga likuiditas BPJS Kesehatan.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan total iuran dalam pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2018 mencapai Rp 81,80 triliun sedangkan beban manfaatnya Rp 94,05 triliun. Saat ini, jumlah peserta JKN Kartu Indonesia Sehat sebanyak 218,9 juta jiwa per Februari 2019.
Baca berita BPJS Kesehatan lainnya di Tempo.co
BISNIS