TEMPO.CO, Jakarta - Pembukuan laporan keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2018 yang dimasalahkan dua komisarisnya berbuntut protes dari kelompok pekerja maskapai. Serikat Pekerja Garuda alias Sekarga mengancam mogok bekerja lantaran komisaris lawas perseroan, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, tidak menyepakati laporan tersebut.
Baca juga: Pekan Depan, Darmin Pertemukan Rini Soemarno dengan Garuda
Ketua Umum Sekarga Ahmad Irfan mengatakan serikat merasa kecewa lantaran sikap kedua komisaris itu merugikan perusahaan. "Kami meminta pemegang saham untuk menahan diri dalam berkomentar di publik karena sangat merugikan Garuda," ujar Ahmad dalam pesan pendek kepada Tempo, Sabtu petang, 27 April 2019.
Adapun ancaman mogok kerja itu sebelumnya telah disampaikan melalui sebuah surat yang dilayangkan kepada Chairul Tanjung selaku bos dua komisaris yang menolak laporan keuangan. Surat bernomor 007/SEKBER/IV/2019 itu dilayangkan pada 26 April 2019.
Dalam surat ini, Sekarga menyampaikan dua poin. Di antaranya pernyataan Chairal dan Dony di media soal laporan keuangan Garuda Indonesia berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap perseroan sehingga memerosotkan nilai saham. Selanjutnya, pernyataan itu juga akan berpengaruh terhadap kepercayaan pelanggan.
Ahmad meminta jajaran petinggi Garuda Indonesia membincangkan masalah ini.
"Kami minta pemegang saham kompak untuk Garuda yang lebih baik," katanya.
Menurut Ahmad, setelah surat disampaikan, komisaris utama Garuda
Sahala Lumban Gaol telah merespons. Sahala, ujar dia, berjanji bakal menyelesaikan perkara ini. "Mudah mudahan ada jalan keluar. Kami tidak mau mogok kerja, tapi kami bisa," ucapnya, mengimbuhkan.
Tempo telah mencoba meminta konfirmasi Chairal terkait dengan persoalan ini melalui pesan pendek dan telepon. Namun, belum ada respons. Adapun Chairal merupakan komisaris Garuda Indonesia dari Trans Company yang masih menjabat.
Tempo juga mencoba mengkonfirmasi pernyataan Serikat Pekerja Garuda tersebut kepada Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan. Menurut Ikhsan, manajemen tidak akan berkomentar soal itu.
Chairal Tanjung dan Dony Oskaria sebelumnya menolak menekan laporan keuangan yang mencatatkan pembukuan Garuda Indonesia selama setahun dalam rapat umum pemegang saham tahunan 24 April lalu. Penolakan keduanya dibuktikan dengan surat keberatan yang dilayangkan terhadap perusahaan pada 2 April 2019.
“Merujuk kepada Laporan Tahunan Perseroan Tahun Buku 2018 yang diajukan kepada kami,……, sesuai dengan Pasal 18 ayat 6 Anggaran Dasar Perseroan, bersama ini kami bersikap untuk tidak menandatangani laporan tahunan tersebut,” tulis keduanya dalam surat yang tersebar di kalangan awak media.
Keterangan surat itu menyebutkan bahwa laporan keuangan Garuda Indonesia bertentangan dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Negara Nomor 23 lantaran telah mencatatkan pendapatan yang masih berbentuk piutang. Piutang yang dimaksud berasal dari perjanjian kerja sama antara PT Garuda Indonesia Tbk dan PT Mahata Aero Teknologi serta PT Citilink Indonesia.
Kerja sama yang diteken pada 31 Oktober 2018 ini mencatatkan pendapatan yang masih berbentuk piutang sebesar US$ 239.940.000 dari Mahata. Dari jumlah itu, US$ 28 juta di antaranya merupakan bagi hasil yang seharusnya dibayarkan Mahata untuk PT Sriwijaya Air.
Dalam surat ini disebutkan, dua komisaris menolak laporan keuangan Garuda Indonesia karena akan menyesatkan publik. Pengakuan pendapatan ini juga dianggap dapat menimbulkan beban cash flow perseroan.
Saat dikonfirmasi, Chairal mengatakan surat tersebut hanya berupa pendapat. “Kan hanya masalah pendapat. Kami enggak sependapat dengan (sistem) akuntansi yang diterapkan,” ucapnya di Hotel Pullman, Jakarta, Rabu, 24 April 2019.
Baca berita Garuda lainnya di Tempo.co