TEMPO.CO, Jakarta - Nama PT Mahata Aero Teknologi ikut terseret dalam pusaran konflik internal yang terjadi di tubuh manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk saat ini. Konflik internal ini terjadi usai Garuda Indonesia mengumumkan laporan keuangan perusahaan, dan memasukkan piutang ke Mahata dalam pendapatan perusahaan.
Baca juga: Laporan Keuangan Garuda Indonesia Disebut Tidak Sesuai Standar
Dua komisaris lama perusahaan maskapai pelat merah tersebut, Chairal Tanjung dan Dony Oskaria, keduanya dari PT Trans Airways, menolak menekan laporan keuangan yang mencatatkan pembukuan Garuda Indonesia selama setahun. Keduanya menilai laporan keuangan Garuda Indonesia bertentangan dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Negara Nomor 23 lantaran telah mencatatkan pendapatan yang masih berbentuk piutang. Piutang yang dimaksud berasal dari perjanjian kerja sama antara PT Garuda Indonesia Tbk dan PT Mahata Aero Teknologi serta PT Citilink Indonesia.
Kerja sama yang diteken pada 31 Oktober 2018 ini mencatatkan pendapatan yang masih berbentuk piutang sebesar US$ 239.940.000 dari Mahata. Dari jumlah itu, US$ 28 juta di antaranya merupakan bagi hasil yang seharusnya dibayarkan Mahata untuk PT Sriwijaya Air. Kedua komisaris menilai pendapatan piutang ini tak seharusnya masuk dalam pos pendapatan tahunan.
Lalu siapa sebenarnya Mahata Aero Teknologi?
Mahata Aero yang berada di bawah naungan Mahata Gorup merupakan sebuah perusahaan solusi nirkabel di pesawat terbang yang telah bekerja sama dengan Garuda Indonesia untuk pemasangan instalasi internet dan wifi di dalam kabin pesawat terbang milik mereka.
Sejak 8 Oktober 2018, Presiden Direktur Mahata Aero, M Fitriansyah, menyampaikan bahwa perusahaannya bisa memasang jaringan wifi di 20 unit pesawat Citilink selama 2019. Akan tetapi, pemasangan wifi harus menunggu jadwal dari Citilink.
"Nggak mungkin mereka grounded semua pesawatnya. Tahun depan kami targetkan 12 sampai 20 unit pesawat sudah terpasang wifi," kata Fitriansyah. Dia menyebut total investasi yang dibutuhkan adalah sebanyak US$40 juta untuk 50 unit pesawat. Adapun, kerja sama kedua perusahaan ini akan berlangsung selama 10 tahun dan bisa diperpanjang.