TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perhubungan akan mengirimkan delegasinya untuk bertemu dengan otoritas penerbangan federal Amerika Serikat atau FAA. Pertemuan tersebut untuk membahas kelajutan operasi pesawat Boeing 737 Max 8 yang sempat ditangguhkan atau grounded pasca-dua kecelakaan besar yang menimpa Lion Air dan Ethiopian Air.
Baca: Bos Lion Air Rusdi Kirana: Boeing Memandang Saya Seperti Celengan
"Minggu ini ada tim dari kami akan ke FAA. Akan kami tunggu," ujar Budi Karya saat ditemui di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat, 26 April 2019.
FAA sebelumnya mengumumkan bahwa peninjauan atas Boeing737 MAX yang melibatkan sembilan regulator dari berbagai negara akan dimulai pada 29 April 2019. FAA mengatakan akan membentuk tim internasional untuk meninjau keselamatan pesawat yang mendarat di seluruh dunia.
Imbauan ini menyusul pengumuman Boeing soal keberlanjutan pembaruan perangkat lunak yang direncanakan pada 737 MAX. Adapun negara yang terlibat untuk pembicaraan ini adalah Cina, Badan Keamanan Penerbangan Eropa, Kanada, Brasil, Australia, Jepang, Indonesia, Singapura, dan Uni Emirat Arab.
Budi Karya mengatakan, sampai saat ini Kementerian telah secara intensif berkomunikasi dengan FAA. "Kemenhub terus berhubungan dengan FAA. FAA akan kasih rekomendasi apa yang harus diperbaiki, software, hardware, juga apa yang harus diganti (dalam komponen pesawat Boeing 737 Max 8)," ucap Budi.
Meski demikian, komunikasi informal itu belum merujuk pada sebuah keputusan kapan Boeing 737 Max 8 boleh beroperasi lagi setelah pembaruan software. Saat ini, Kemenhub sebagai regulator masih menunggu rekomendasi penuh dari FAA.
Baca: Boeing Urus Sertifikasi Software Baru 737 MAX
Setelah FAA merilis izin terbang Boeing 737 Max 8 kembali, Kemenhub tidak akan langsung memberikan rekomendasi terbang kepada operator pesawat dalam negeri. "Kami akan tes dulu, apakah Boeing 737 Max 8 akan berjalan baik. Prosedur itu harus dilakukan," ujar Budi Karya.
Validasi Boeing 737 Max 8, ujar Budi, penting agar tak terjadi masalah lanjutan seperti yang menimpa Lion Air dan Ethipoian Air. "Setelah itu baru maskapai dapat bergerak," ia menambahkan.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | BISNIS