TEMPO.CO, Jakarta – Lonjakan tarif tiket pesawat rute domestik membuat industri pariwisata lesu. Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maluana Yusran mengatakan dua industri paling terdampak akibat kenaikan harga perjalanan udara ini adalah hotel dan agen perjalanan.
Simak: Mudik Lebaran, Penjualan Tiket Pesawat Diprediksi Naik 300 Persen
Maulana mengatakan, pada periode Januari hingga April 2019, hotel mengalami penurunan okupansi dengan angka yang signifikan. “Penurunan tingkat kunjungan mencapai 20-40 persen,” ujarnya saat ditemui di Hotel Millenium, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu petang, 24 April 2019.
Padahal, dibanding periode yang sama tahun lalu atau year on year, saat masa low season pada Januari hingga April, hotel hanya mengalami kemerosotan okupansi sebesar 10 persen. Hotel dengan jumlah penurunan tingkat kunjungan yang signifikan adalah hotel-hotel di daerah yang tak memiliki destinasi wisata. Ia mencontohkan, Bengkulu dan beberapa kota di Sulawesi.
Saat ini, hotel pun hanya mengandalkan kunjungan dari perjalanan dinas. Itu saja kontribusinya tak seberapa. Sementara itu, di daerah destinasi, seperti Bali dan Lombok, hotel hanya mengandalkan pergerakan wisatawan asing.
Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Titus Indrajaya mengatakan bisnis agen perjalanan turut terimbas fenomena tingginya harga tiket pesawat. Menurut dia, saat ini sudah ada 350 agen yang menyatakan ingin mundur dari asosiasi karena bisnis seret.
Titus menjelaskan, rata-rata bisnis agen perjalanan keok karena umumnya mereka mengandalkan laba dari penjualan tiket pesawat. ”Dari 7.000 anggota, 60 persen jual tiket pesawat,” ujarnya.