TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan pembangunan industri petrokimia membutuhkan waktu tiga hingga empat tahun lamanya sampai bisa beroperasi secara penuh. Oleh karena itu peningkatan kapasitas produksi dari produk petrokimia dalam negeri belum bisa dilakukan secara cepat dan kebutuhan akan produk impor pun menjadi tidak terelakkan.
Baca: Arcandra Tahar: Petrokimia Topang Masa Depan Industri Ekstraktif
"Kalau mempercepat petrokimia itu kan nggak kayak bikin pabrik tahu," kata Airlangga dalam acara Indonesia Industrial Summit di Indonesia Convention Exhibition (ICE) Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, Banten, Selasa, 16 April 2019.
Besarnya impor produk petrokimia ini sebelumnya diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di acara yang sama pada Senin, 15 April 2019. Menurut dia, ada tiga kelompok barang yang masih mendominasi impor Indonesia. Ketiganya yaitu besi, baja, dan turunannya; petrokimia; dan kimia dasar.
"Ketiganya mendominasi 60 persen dari impor Indonesia," kata Darmin pada pembukaan acara Indonesia Industrial Summit di Indonesia Convention Exhibition (ICE) Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, Banten, Senin, 15 April 2019. Adapun beberapa produk-produk petrokimia yang banyak digunakan di dalam negeri, mulai dari pipa plastik, poliester pada produk pakaian, hingga produk-produk pada farmasi dan pakaian.
Dari catatan Kemenperin, Indonesia mengimpor barang-barang petrokimia hingga senilai US$ 15 miliar atau setara Rp 210 triliun (kurs Rp 14.000 per dolar AS) sepanjang 2018.
Sementara dari catatan Badan Pusat Statistik (BPS), impor dari golongan barang plastik dan barang dari plastik yang merupakan produk hilir dari petrokimia, menempati urutan impor terbesar keempat sepanjang 2018 dengan jumlah mencapai US$ 9,2 miliar.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil, Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono juga mengatakan bahwa produksi lokal baru bisa memenuhi 20 persen dari kebutuhan 6 juta ton petrokimia setiap tahunnya. Penyebabnya, belum banyak industri di hulu petrokimia dalam negeri karena besarnya biaya investasi. "Untuk kapasitas produksi 1 juta ton saja, perlu adanya dana sebesar US$ 3,5 miliar atau setara Rp 49 triliun," kata Achmad saat dihubungi.
Atas kondisi inilah, pemerintah menutupi kekurangan ini dengan mempercepat produksi plastik daur ulang. Sebagai salah satu produk petrokimia, plastik selama ini dibutuhkan dalam industri konstruksi, otomotif, hingga makanan minuman. Saat ini kapasitas plastik yang berhasil di daur ulang untuk digunakan kembali baru sekitar 10 persen. Dengan percepatan ini, jumlahnya diharapkan bisa naik menjadi 25 persen.
Selain itu, investasi pada industri plastik daur ulang ini lebih kecil dari industri petrokimia dan waktu produksi yang kurang dari satu tahun. Sehingga dari pada mengimpor terlalu banyak produk petrokimia, Airlangga mengatakan pihaknya bakal fokus pada produksi plastik daur ulang ini.
"Kami lagi bicara dengan pemerintah daerah dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bagaimana mendorongnya, bila perlu kami bahas mengenai insentif," kata Airlangga.
Baca: Target Pertumbuhan Industri Petrokimia di Kisaran 8 Persen
Namun, Ketua Umum Partai Golkar ini mengatakan bentuk insentif yang akan diberikan masih perlu dibahas lebih lanjut. Akan tetapi karena nilai investasinya lebih rendah, insentif yang diberikan pada industri plastik daur ulang ini tidak akan seperti industri petrokimia yang saat ini mendapat fasilitas libur pajak alias tax holiday.
Simak berita terkait petrokimia lainnya di Tempo.co.