TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah kartu sakti yang ditawarkan calon presiden nomor urut 01 Jokowi dalam debat pilpres pamungkas disebut merupakan wujud dari amanat konstitusi. Menurut juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Koalisi Indonesia Kerja Arif Budimanta, program tersebut sebagai bentuk riil keberpihakan pemerintah pada kaum yang butuh perlindungan sosial dan akses digitalnya masih terbatas.
Baca: Rizal Ramli Nilai Jokowi Terlalu Baik pada Cina
“Ini untuk menjalankan konstitusi Pasal 34 UUD 1945, negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak,” ujar Arif saat ditemui di The Sultan Hotel, Jakarta, Sabtu, 13 April 2019.
Tiga kartu sakti kembali disinggung Jokowi dalam debat pilpres putaran kelima yang berlangsung akhir pekan lalu. Jokowi kala itu mengatakan akan mengembangkan kartu-kartu yang sudah ada sebelumnya.
Misalnya kartu pra-kerja, kartu sembako murah, dan kartu KIP kuliah. Sebelumnya, Jokowi telah mencanangkan program kartu Indonesia pintar, kartu Indonesia sehat, dan kartu keluarga sejahtera.
Sementara calon wakil presiden nomor urut 02 Sandiaga Uno menyatakan pihaknya akan mengoptimalkan fungsi KTP-elektronik sebagai kartu layanan kebutuhan masyarakat. Dengan begitu, pemerintah tidak perlu menambah anggaran untuk menerbitkan kartu-kartu layanan lain seperti Kartu Sembako Murah, Kartu Pra-Kerja, dan Kartu Indonesia Pintar.
Lebih jauh, menurut Arif, kartu Jokowi tak sembarangan kartu lantaran basis datanya sama dengan data kependudukan. “Jadi kartu adalah instrumen untuk menjalankan konstitusi,” katanya.
Baca: Sandiaga Soal 1 Kartu Multifungsi, JK: Belum Ada Teknologinya
Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua TKN Johnny G Plate. Ia mengatakan elemen penting dalam kartu sakti Jokowi adalah subsidi. Program tersebut merupakan upaya ikumben untuk menambah perlindungan sosial. “Ini subsidi produktif yang diberikan. Bukan hanya soal kartu, tapi juga bernilai uang,” ujarnya.