TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Center of Reform on Economics alias Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut perlunya pembentukan Badan Otonom Perpajakan dibicarakan dalam debat pilpres atau debat Calon Presiden dan Wakil Presiden Putaran Kelima pada Sabtu, 13 April 2019. Debat tersebut akan membahas soal ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan, investasi, serta industri.
Baca: Debat Pilpres Kelima, Pertumbuhan Ekonomi Bakal Jadi Isu Utama
Badan Otonom Perpajakan, ujar Yusuf, adalah bagian dari reformasi perpajakan. "Kenapa isu ini perlu diangkat lagi, karena Badan Otonom Perpajakan di berbagai negara punya kisah sukses," ujar dia di Hong Kong Cafe, Jakarta, Selasa, 9 April 2019.
Yusuf mengatakan ada dua negara yang menerapkan pemisahan antara Badan Perpajakan dengan Kementerian Keuangan, yakni Afrika Selatan dan Peru. Bedasarkan data Bank Dunia, Afrika Selatan dan Peru tercatat dapat menggenjot rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto di atas Indonesia. Pada 2016, rasio pajak terhadap PDB Afrika Selatan mencapai level 27 persen dan Peru 14 persen, sementara Indonesia hanya 10 persen.
Apabila dilihat berdasarkan fungsinya, Yusuf berujar Badan Otonom Perpajakan bakal memiliki keleluasaan yang lebih banyak ketimbang saat bergabung dengan Kementerian Keuangan. Badan otonom itu bisa leluasa mengelola anggaran dan kebutuhan pegawainya sendiri.
Di samping itu, diskusi mengenai pembentukan Badan Otonom Perpajakan juga sebenarnya sudah masuk dalam Revisi Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan yang saat ini sedang digodog Dewan Perwakilan Rakyat dan masih pending. "Jadi hal ini perlu diangkat kembali untuk calon presiden, apakah isu ini diangkat jadi isu riil atau tidak nyata?"
Pembentukan Badan Otonom Perpajakan pernah disampaikan oleh kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Ide itu disebut oleh Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional Prabowo - Sandiaga, Sudirman Said, dalam diskusi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu, 9 Januari 2019. Dalam kesempatan itu disampaikan bahwa pemisahan tidak hanya akan dilakukan pada Ditjen Pajak, namun juga Ditjen Bea Cukai, karena sama-sama berhubungan dengan penerimaan negara.
Menurut Sudirman, upaya tersebut merupakan upaya meningkatkan tax ratio alias rasio pajak yang pada 2018, baru mencapai 11,5 persen dari Pendapatan Domestik Bruto atau PDB. Nantinya, kedua direktorat ini akan dilebur dalam satu badan khusus penerimaan negara yang langsung bertanggung jawab ke presiden. "Pokoknya segala yang mengurus revenue (pendapatan), seperti Bea Cukai dengan PNBP (Pendapatan Nasional Bukan Pajak), masuk ke situ," kata dia.
Pembahasan mengenai Badan Otonom Perpajakan juga sempat dibicarakan oleh pemerintah sekira lima tahun lalu. Pada Agustus 2014, Pejabat Pengganti Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Pajak saat itu, Wahyu Karya Tumakaka mengatakan pemerintah sudah menggelar satu kali pertemuan di level eselon II untuk membahas rencana pembentukan badan penerimaan negara.
"Semuanya masih cair dan belum mengerucut pada satu isu. Perlu waktu sedikitnya tiga tahun sampai organisasi ini bisa berjalan," kata Wahyu setelah mengobrol santai bersama wartawan di Direktorat Pajak, Jakarta. Setelah itu, wacana ini tak terdengar lagi kabarnya.
Dua tahun kemudian, giliran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang angkat bicara terkait dengan wacana pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan menjadi sebuah badan independen. Pada dasarnya, menurut Sri Mulyani, dia dan Presiden Joko Widodo ingin membuat institusi pajak kuat dan bersih.
Menurut Sri Mulyani, yang terpenting adalah mengkaji masalah yang mesti diperbaiki oleh Ditjen Pajak terlebih dahulu. "Apakah strukturnya, pengawasannya, mental orangnya, tingkat gajinya, database-nya. Ini perlu kajian. Saya tidak mau dibuat pilihan dia badan sendiri atau dia ada di Kemenkeu," katanya, di Hotel Aston, Sentul, Bogor, Sabtu malam, 26 November 2016.
CAESAR AKBAR | FAJAR PEBRIANTO