Imbas dari hal tersebut, saat ini hampir seluruh bank sentral di dunia juga mengubah sikapnya menjadi lebih dovish dalam kebijakan moneternya maupun dalam pandangan pertumbuhan ekonominya. Selain itu, pergerakan rupiah pada kuartal kedua juga akan dibebani oleh reli penguatan minyak mentah dunia akibat kebijakan pemangkasan pasokan oleh OPEC dan sekutunya, serta sanksi AS terhadap negara minyak Iran dan Venezuela.
Indonesia yang merupakan negara net importir minyak, mau tidak mau harus mengimpor komoditas tersebut untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, kenaikan harga komoditas tersebut akan membuat prospek neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia akan tertekan. Ibrahim memproyeksi rupiah akan bergerak di level Rp 14.150 per dolar AS sepanjang kuartal II tahun 2019.
Hal senada disampaikan oleh tim riset UOB yang dipimpin oleh Suan Teck Kin. Ia mengatakan bahwa jika melihat PDB Indonesia yang belum pulih dan di tengah ketidakpastian sektor eksternal, pihaknya melihat pemotongan suku bunga dari BI justru akan mengurangi dukungan untuk kinerja rupiah.
"Hal tersebut karena Indonesia memiliki defisit fiskal dan transaksi berjalan, ini akan membuat rupiah rentan terhadap pelemahan. Bahkan, bulan lalu, ketika pasar cenderung untuk memilih adanya pemotongan suku bunga dari BI, rupiah justru melemah lagi dari Rp 14.000 menjadi Rp 14.200 terhadap dolar AS," tulis UOB dikutip dari riset yang bertajuk Laporan Outlook Kuartal II/2019 UOB.
Walaupun demikian, penurunan suku bunga oleh BI dapat dilihat secara positif untuk komunitas investasi sebagai sinyal yang baik bahwa adanya pertumbuhan dan memicu arus masuk investor baru sehingga mendukung rupiah.
Baca: BI: Supply dan Demand di Pasar Valuta Asing Seimbang, Rupiah Stabil
Secara keseluruhan, proyeksi pelemahan rupiah dapat diimbangi oleh dovish-nya The Fed terhadap kenaikan suku bunganya yang akan menekan laju dolar AS. Oleh karena itu, UOB memprediksi rupiah akan bergerak di level Rp 14.150 per dolar As sepanjang kuartal II/ 2019.
BISNIS