TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemerintah dan perbankan di Indonesia pada tahun 2019 ini diperkirakan semakin gencar bersaing demi mendapatkan dana masyarakat atau dana pihak ketiga.
Baca: Perbankan Dukung BI Bikin Standardisasi QR Code Payment
"Tahun ini rivalitas pencarian dana dari masyarakat antara pemerintah dan perbankan bakal ketat sekali,” ujar Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto saat pelatihan wartawan ekonomi dan moneter Bank Indonesia (BI) di Yogyakarta, Sabtu 23 Maret 2019.
Ketatnya persaingan pemerintah dan perbankan itu potensial terjadi karena sejumlah faktor. Ryan menuturkan, pemerintah tahun ini cukup getol mengeluarkan surat berharga negara (SBN) yang besarnya sekitar Rp 800 triliun lebih, dengan bunga lebih menarik dibandingkan dengan deposito perbankan.
Dari jumlah SBN itu, alokasi surat berharga baru sebesar Rp 260 triliun dan surat utang jatuh tempo sisanya lebih dari Rp 400 triliun. "Surat jatuh tempo ini tidak di-reprofile sehingga pemerintah bayarnya juga bakal besar. Ini membuat rivalitas perebutan dana masyarakat antara pemerintah dan perbankan menguat,” ujarnya.
Getolnya penerbitan SBN ini karena pemerintah dinilai sedang membutuhkan pembiayaan cukup besar dari masyarakat khususnya untuk infrastruktur.
Selain penerbitan SBN, bursa saham juga tengah gencar-gencarnya menarik dana masyarakat, misalnya dengan kemudahan berinvestasi sehingga membuat korporasi mudah mendapatkan pinjaman dana segar lewat IPO (initial public offering). "Ini mengindikasikan bahwa korporasi bisa mendapatkan dana tidak hanya dari perbankan," ujarnya
Melihat kondisi itu, mau tak mau kalangan perbankan juga akan bergerak gencar mengincar dana masyarakat atau dana pihak ketiga (DPK), mengingat likuiditas di perbankan sendiri masih ketat.
Ryan menilai perbankan sebenarnya lebih luwes mengelola strategi agar bisa mendapatkan dana masyarakat lebih besar.
Ia mengungkapkan, setidaknya ada lima cara yang bisa dilakukan agar bisa perbankan bisa menghadapi persaingan ketat mendapatkan dana masyarakat itu.
Pertama dengan langkah close loop transaction, yakni setiap debitur yang memperoleh kredit dari bank, wajib 20-30 persen gunakan fasilitas dari bank krediturnya.
“Kalau mendapatkan kredit dari perbankan A lalu gunakan fasilitas perbankan B, itu namanya selingkuh. Paling tidak 30 persen semua transaksi lewat perbankan yang memberikan kredit. Nanti ditunjukkan lewat perjanjian kredit," ujarnya.
Ryan punya taktik kalau perbankan tidak mau kebijakan model itu tak masalah. Namun konsekuensinya interest rate perbankan bersangkutan dinaikkan 25 basis poin.
Langkah kedua adalah menggunakan dan mengembangkan digital banking, dengan QR code atau layanan digital lainnya. Kemudian langkah ketiga perbankan bisa mengembangkan SCF (supply chain financing), yakni menggarap semua rantai pasok dari kreditur perbankan.
Selanjutnya yang keempat perbankan memperbanyak kerja sama dengan merchant sehingga semua jalur pembayaran menggunakan perangkat perbankan. Sedangkan langkah terakhir dengan cara membidik special rate.