TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Karya Citra Nusantara Widodo Setiadi mengatakan perusahaannya tetap melanjutkan pembangunan dermaga di Pelabuhan Marunda, kendati, hingga kini polemik antara perseroan dengan PT Kawasan Berikat Nusantara masih belum kelar.
Baca juga: Sengketa Konsesi Pelabuhan Marunda, Ini Komentar Budi Karya
"Kini pembangunan sudah sampai pier II," ujar Widodo di Restoran D'consulate , Jakarta, Sabtu, 23 Maret 2019. Saat ini, kemajuan pembangunan dermaga itu sudah mencapai 35 persen. Total, perseroan bakal membangun hingga pier III. Adapun duit yang sudah dikucurkan untuk pembangunan itu sedikitnya mencapai Rp 3 triliun.
Widodo berujar pembangunan tiga buah dermaga di Pelabuhan Marunda itu mestinya rampung dalam waktu enam tahun sejak perusahaannya memenangkan tender 2004 lalu. Namun lantaran berbagai sengkarut yang terjadi, pembangunan itu pun molor dan kini mencapai tahun ke-15.
Menurut Widodo, perusahaannya bakal terus membangun hingga ada putusan pengadilan berkekuatan tetap alias inkracht. "Sebelum itu, kami masih membangun, artinya menunjukkan kami tidak mengakui putusan itu. Apalagi sesuai keputusan Pokja, itu adalah proyek strategis nasional."
Belakangan, putusan Pengadilan Tinggi Jakarta kembali menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang mengabulkan gugatan PT KBN mengenai konsesi Pelabuhan Marunda. Putusan itu membatalkan konsesi yang dipegang PT KCN. Selain itu, perseroan bersama dengan Kementerian Perhubungan juga mesti membayar ganti rugi sebesar Rp 773 miliar secara tanggung renteng kepada KBN.
Sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis KCN tidak boleh melanjutkan pembangunan dan pemanfaatan apa pun di dermaga I, II, dan III sampai perkara sengketa pelabuhan berkekuatan hukum tetap. Vonis itu buntut dari gugatan Direktur Utama PT KBN Sattar Taba.
Pada 1 Februari 2018, Sattar menggugat konsesi Pelabuhan Umum Marunda yang pada November 2016 diteken KCN bersama Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan Kelas V Marunda. KCN tak lain anak perusahaan KBN. Menurut Sattar, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1992 tentang Penunjukan dan Penetapan Wilayah Usaha Perusahaan Perseroan (Persero) PT Kawasan Berikat Nusantara, wilayah perairan yang saat ini direklamasi dan menjadi Pelabuhan Umum Marunda adalah aset mereka. “Bunyi keppres-nya begitu. Ada petanya dan ini tidak bisa disembunyikan,” tutur Sattar.
Gara-gara sengketa itu, tampang pelabuhan masih jauh dari rancangan semula. Batu bara yang menggunung masih mendominasi lapangan penumpukan. Belum ada tanda-tanda pelabuhan hasil reklamasi itu akan melayani bongkar-muat peti kemas dan kargo. “Kementerian Perhubungan sementara meminta kami berfokus melayani muatan curah dulu,” ucap Amir. Padahal dermaga I sudah sebelas tahun beroperasi sejak 2007.
Karya Citra Nusantara adalah badan usaha pelabuhan yang mengoperasikan pelabuhan umum ini. Perusahaan patungan antara PT Karya Tekhnik Utama dan PT Kawasan Berikat Nusantara ini berdiri pada 2005. Dua tahun kemudian, KCN merampungkan pembangunan dermaga I dan langsung mengoperasikannya.
Pemerintah awalnya merancang Marunda sebagai terminal umum untuk melayani arus peti kemas, kargo, dan muatan curah sebagai penopang Tanjung Priok, yang kapasitasnya makin terbatas. Sebelum terminal ini dibangun, Kawasan Berikat Nusantara sudah memiliki satu terminal khusus untuk melayani kebutuhan mereka sendiri. Sementara Terminal Khusus Marunda berada di tepi Sungai Blencong, Terminal Umum Marunda langsung menghadap Laut Jawa.
Pengembangan Pelabuhan Umum Marunda masuk rencana induk Pelabuhan Tanjung Priok dan sekitarnya. Dokumen master plan dan studi kelayakan Pelabuhan Umum Marunda yang diterbitkan Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Gadjah Mada pada September 2013, yang salinannya diperoleh Tempo, menyebutkan pengembangan itu menjanjikan banyak faedah. Salah satunya peningkatan kegiatan ekonomi kawasan. Aneka manfaat itu tak lepas dari letak pelabuhan yang strategis, yaitu hanya 1,5 kilometer di timur Pelabuhan New Priok.
MBM TEMPO