TEMPO.CO, Jakarta - Kajian Research Institute of Socio Economic Development (RISED) baru saja mengumumkan sebesar 71 persen konsumen hanya mampu menoleransi kenaikan pengeluaran untuk ojek online atau daring kurang dari Rp 5.000 per hari.
Baca: BPTJ Ungkap Berlarutnya Shelter Ojek Online di Stasiun MRT
Pengamat ekonomi digital, Fitra Faisal dalam keterangan tertulis mengatakan idealnya tambahan ongkos yang dikeluarkan konsumen hanya Rp 5.000 per hari. Dengan jarak tempuh rata-rata konsumen sebesar 8,8 km per hari, lanjut dia, berarti kenaikan tarif yang ideal ojek online adalah maksimal Rp 600 per kilometer atau maksimal naik menjadi Rp 2.000 per kilometer.
Sementara itu, konsumen berpendapat, lebih memilih kendaraan pribadi jika kenaikan tarif ojek daring lebih mahal. Ramadhan, salah satu konsumen ojek online mengatakan bahwa sebenarnya tarif ojek online saat ini sudah sesuai.
Namun jika kenaikan tarif ojek online dirasa diperlukan untuk kesejahteraan pengemudi. Ia mengaku setuju dengan wacana kenaikan tersebut. Dengan catatan kenaikannya masih di taraf yang wajar. "Kalau saya setuju-setuju saja selama kenaikannya masih wajar," tutur Ramadhan.
Sebagai informasi, terdapat beberapa usulan terkait tarif batas bawah ojek online. Satu diantaranya dari pihak pengemudi yang mengusulkan agar tarif berada di angka Rp 3.100/km.
Menurut Ramadhan, angka tersebut masih terbilang mahal. Sebab, jika tarifnya menjadi Rp 3.100/km itu artinya untuk ke kantor yang jarak tempuhnya 8 km, ia harus merogoh kocek sekitar Rp 25.000.
"Kalau Rp 3.100/km masih terlalu mahal, kalau menurut saya yang ideal Rp 2.000/km. Jadi kira-kira paling cuma bayar Rp 16.000an buat sampai di kantor," katanya.
Hal senada disampaikan Febry. Ia mengaku akan berhenti menggunakan ojek online dan lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, jika kenaikan harga tarif ojek online di batas wajar.
Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana meningkatkan tarif batas bawah ojek online (ojol). Sampai saat ini, aturan yang akan tertuang dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Perhubungan itu masih digodok lantaran menuai berbagai reaksi dari konsumen.