TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK menyebutkan banjir Sentani terjadi salah satunya karena penataan ruang yang kurang memperhatikan karakteristik daerah rawan banjir.
Baca: Penumpang di Bandara Wamena Melonjak Setelah Banjir Sentani
Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ida Bagus Putera Prathama menjelaskan, karakteristik wilayah terdampak banjir ternyata memiliki empat kondisi alam yang membuatnya rawan. Di antaranya, merupakan daratan banjir (flood plain), berada di lereng perbukitan yang terjal, mulut sungai yang kecil, dan gejala alam.
"Memang dari sananya dia adalah flood plain. Jadi memang ke situ tempat air mengarah, apabila terjadi curah hujan tinggi," kata Putera, Selasa, 19 Maret 2019.
Ditambah lagi, kata Putera, banjir bandang terjadi adanya sungai yang melintasi kota dan bermuara di danau Sentani itu secara alami serta mulut sungai yang kecil. Sehingga banjir bakal terjadi ketika debit air jauh melebihi kondisi normal. "Kalau nggak salah dua kalinya (193,21 meter kubik per detik), padahal kapasitasnya itu hanya 91,38 meter kubik per detik."
Putera menjelaskan hal tersebut dengan mendasarkan pada hasil penelitian karakteristik Daerah Tangkapan Air (DTA) dengan tingkat kerawanan limpasan kategori tinggi-ekstrem. Bahkan, memiliki tingkat kerawanan longsor kategori sedang-rawan.
"Teorinya begini, hulu yang curam dengan tanah yang mudah longsor ditambah sering terjadi gempa-gempa kecil, membuat sering terjadi longsor-longsor alami yang menciptakan bendungan alami. Foto satelit dari waktu ke waktu menunjukkan itu," ucap Putera.
Unsur alam itu, menurut Putera, yang menyebabkan bendungan-bendungan alami yang sangat tidak stabil. Ketika terjadi hujan ekstrim, bendungan alam ini jebol. "Jebolnya ini membawa segala tadinya bahan longsoran itu, material, batu, kayu, dan air ke bawah," katanya.
Oleh sebab itu, Putera menjelaskan bahwa KLHK akan membuat langkah-langkah strategis dalam rangka menangani banjir bandang Sentani. Selain membentuk satgas penanganan bencana dan membuat posko informasi bencana Sentani, KLHK juga akan melakukan langkah turun ke lapangan.
Di antaranya, peningkatan alokasi rehabilitasi hutan dan lahan dari semula 1.000 ha menjadi 2.500 ha, serta peningkatan pembangunan sarana Konservasi Tanah dan Air (KTA), yakni dam penahan erosi (gully plug), serta dam pengendali dan Saluran Pembuangan Air (SPA).
KLHK, kata Putera, akan melakukan revisi kegiatan alokasi sebagai langkah antisipasi. Sebelumnya 1.000 hektar sekarang kita naikkan dengan 2.500 hektar rehabilitasi lahan. "Kita juga akan membangun bangunan sipil teknis dam pengendali dan dam penahan, dan saluran-saluran air untuk mencegah bendungan alami terbentuk," tuturnya.
Baca: Freeport Kirim Tim Kemanusiaan ke Sentani
Selain itu, KLHK juga bekerjasama dengan Dirjen Tata Ruang untuk memungkinkan relokasi, termasuk pemukiman itu karena memang termasuk wilayah aliran air. "Tapi rehabilitasi lahan dan penanaman dibarengi juga dengan bangunan-bangunan pencegahan erosi itu yang lebih mendesak," kata Putera.
Simak berita terkait banjir Sentani lainnya di Tempo.co.