TEMPO.CO, Bandung - Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, pemerintah sudah mengumumkan keputusannya atas kebijakan diskriminatif Uni Eropa yang berencana melarang minyak kelapa sawit untuk bahan baku biofuel lewat European Union's Delegation Act untuk memprotesnya pada forum World Trade Organization (WTO).
Baca juga: Jika UE Larang Sawit untuk Biofuel, Apa Langkah Pemerintah?
“Statemen resmi dari pemerintah kemarin oleh Pak Menko Perekonomian,” kata dia di Bandung, Selasa, 19 Maret 2019.
Enggar mengatakan, pemerintah akan bersiap untuk mengadukan kebijakan yang tinggal menunggu pengesahan Parlemen Uni Eropa. “Satu tim pemerintah pergi untuk kemudian kita akan mengadukan ke WTO,” kata dia.
Enggar mengaku, Indonesia bisa membalas perlakuan Uni Eropa tersebut sembari membawa persoalan itu ke WTO, kendati dia tidak merincinya. “Satu proses ke WTO, dan ya kalau mereka melakukan hal yang seperti itu, kita bisa melakukan hal yang serupa,” kata dia.
Enggar mengatakan, pemerintah tengah bersiap untuk membawa masalah tersebut ke WTO. “Kita lihat perkembangannya. Yang pasti kita sengketakan dulu saja ke WTO,” akta dia.
Menurut Enggar, pemerintah masih mempersiapkan materi gugatan tersebut. “Baru kemarin keputusannya. Kita masih proses, masih harus sampaikan surat. Kemudian kita juga pakai pengacara untuk itu,” kata dia.
Enggar mengatakan, proses sengketa di WTO bisa memakan waktu tahunan. Indonesia masih punya waktu karena penerapan kebijakan tersebut baru 2030 nanti. Saat ini, posisi kebijakan itu masih berupa draf final, masih menunggu pengesahan Parlemen Uni Eropa. “Kita sudah mengantisipasi untuk itu,” kata dia.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Oke Nurwan mengatakan, pemerintah masih menunggu pengesahan European Union's Delegation Act oleh Parlemen Uni Eropa. Dia mengaku, draft final tersebut sudah diterima pemerintah dan kini masih dipelajari. “Kita menunggu Delegation Act yang pastinya seperti apa. Walaupun kita sudah tahu, tidak akan jauh berbeda dari apa yang sedang di usulkan. Kan ini belum official,” kata dia di Bandung.
Oke mengatakan, draft final tersebut tengah dipelajari untuk memastikan pasal-pasal yang akan diperkarakan. “Kita sedang pelajari sebetulnya, yang menyebutkan, yang diskriminasi pasal mana saja. Jadi posisinya sedang pendalaman. Kita sedang dalami, sehingga nanti niatnya menggugat ketika menurut pakar hukum atau law firm kita, oke,” kata dia.
Menurut Oke, jika disahkan, kebijakan tersebut baru berlaku pada 2030 nanti. Pemerintah Indonesia menilai kebijakan tersebut diskriminatif karena hanya ditujukan pada minyak sawit. “Terasa oleh kita ada unsur diskriminatif. Kenapa yang di face-off cuman palm-oil saja. Cuma kan bahasa di ketentuannya seperti apa, itu yang harus kita pelajari. Kenapa gak kedelai, kenapa gak rapeseed, kenapa gak sun-flower, kok palm oil?” kata dia.