TEMPO.CO, Jakarta - Pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport atau
Bandara Kulon Progo kembali disoroti anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam rapat kerja bersama Kementerian Perhubungan, anggota Komisi V DPR dari Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono, mengatakan ada sejumlah problem dalam pengerjaan proyek bandara yang berlokasi di Kulonprogo, Yogyakarta, itu.
Baca: Bandara Kulon Progo Beroperasi April 2019, Khusus Internasional
“Saya sudah ke Kulonprogo dan konsultasi dengan konsultan Jepang. Hasilnya, tanah di bandara (Bandara Kulon Progo) itu tanah likuifaksi,” ujar Bambang saat rapat di kantor Komisi V DPR/MPR RI Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 18 Maret 2019. Bambang mengklaim, dalam konsultasi itu, ia menemukan bahwa daerah yang kini didirikan bandara tersebut berpotensi tsunami.
Menurut Bambang, jarak antara gedung terminal bandara dan laut hanya 400 meter. Karena itu, bila terjadi gempa bumi dengan kekuatan di atas 8 magnitudo yang berimbas air bah, air limpasan tsunami dari laut dikhawatirkan akan menyapu kawasan bandara.
Dalam perbincangan Bambang dengan konsultan Jepang yang tidak disebutkan namanya, ia mengatakan ketinggian air diprediksi dapat menyapu bandara hingga ketinggian 12 meter. Menanggapi cecaran Bambang, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memastikan bahwa pembangunan Bandara Kulon Progo telah diikuti dengan langkah mitigasi bancana.
Sedangkan soal daerah berpotensi lukuifaksi, Budi Karya mengatakan tak pernah mendengar adanya studi yang menyatakan kondisi demikian. “Kami belum mendengar potensi likuifaksi. Kalau berkaitan dengan gempa, kami sudah lakukan mitigasi,” ujarnya dalam gelaran rapat.
Penjelasan Budi Karya diperkuat oleh pemaparan yang disampaikan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B Pramesti. Polana menjelaskan, selama proses pembangunan bandara, pihaknya telah berkonsultasi dengan sejumlah konsultan dan akademikus dari berbagai universitas terkait potensi bencana.
Polana mengabsen, para pakar yang memberi masukan terkait kebencanaan itu di antaranya merupakan akademikus Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dan Institut Teknologi Bandung. Selain itu, Kementerian Perhubungan telah menggelar focus group discussion dan kerja sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika serta para pakar dari Jepang.
"Di dalam hasil studi tersebut, dengan salah satu profesor di Jepang, hasilnya kesepakatan berdasarkan konsensus para ahli menyatakan gempa maksimum yang dijadikan parameter desain adalah 8,5 magnitudo,” ujarnya. Bila gempa dengan skala maksimal terjadi, kontraktor telah mendesain bangunan yang aman dari gempa dan tsunami.
Bangunan tersebut berada di lantai dua dan tiga bandara yang disebut sebagai spot evakuasi. Lantai atas terminal bandara yang berada di ketinggian 21 misi level diperkirakan aman dari terjangan tsunami. Bahkan, gedung itu akan siap menampung masyarakat bila sewaktu-waktu terjadi bencana.
Terpisah dengan terminal bandara, Polana mengatakan pihaknya telah membangun gedung crisis center. Ke depan, pihaknya merencanakan adanya pembangunan tsunami protection di lingkungan luar
Bandara Kulon Progo.
“Salah satunya dengan membangun gundukan pasir, yang dilengkapi dengan vegetasi dan kanal-kanal,” katanya. Namun, pembangunan itu menunggu hasil kesepakatan negosiasi lahan antara PT Angkasa Pura II, pemerintah kota, dan Pakualam. “Karena tanahnya tanah Pakualam,” ucapnya.