TEMPO.CO, Yogyakarta - Kementerian Perindustrian menargetkan dalam lima tahun mendatang industri furnitur berperan lebih besar dalam perekonomian nasional melalui peningkatan nilai ekspor. Target nilai ekspor furnitur ditarget sudah bisa tembus US$ 5 miliar pada 2024 nanti.
Baca juga: Menteri Perindustrian Yakin Ekspor Furnitur USD 5 M pada 2024
“Kami berharap target ekspor itu tercapai, ini juga tergantung pengusaha untuk mencapai target itu butuh apa, pemerintah siap memfasilitasi,” ujar Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih saat membuka event Jogja International Furniture and Craft Fair (JIFFINA) di Yogyakarta Rabu 13 Maret 2019.
Gati menuturkan, pemerintah juga tak akan tinggal diam untuk membantu mewujudkan target itu agar industri furnitur juga kerajinan dapat meningkatkan kontribusinya pada produk domestik bruto (PDB).
“Kendalanya untuk peningkatan ekspor kan bukan soal SDM (sumber daya manusia) saja, tapi juga bahan baku dan peralatan yang harus ikut di-support pemerintah,” ujarnya.
Selain itu, Gati menyoroti soal pelaksanaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang belum bisa dijalankan optimal pelaku usaha perkayuan di tanah air. “SVLK ini masih jadi kendala juga, karena belum semua pelaku IKM (industri kecil menengah) sanggup membayar untuk memperolehnya,” ujarnya.
Gati menuturkan, Kementerian Perindustrian saat ini tengah mengevaluasi agar pengusaha bisa lebih mudah dan murah mendapatkan SVLK itu guna memperlancar ekspansi ekspornya.
Gati menambahkan untuk membuat sektor furnitur juga kerajinan agar berkontribusi pada perekonomian nasional, faktor SDM sebenarnya sudah tidak perlu dikhawatirkan. Saat ini Indonesia juga telah memiliki institusi pendidikan khusus Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu di Kendal Jawa Tengah.
“Kalau untuk kerajinan yang dibutuhkan kan lebih soal keterampilan, bagaimana sekarang dengan ketrampilan itu mereka lebih produktif,” ujarnya.
Gati menuturkan salah satu upaya peningkatan ekspor furnitur itu tak lain produktivitas. Menurut dia, untuk meningkatkan produktivitas ini butuh peralatan seperti mesin yang memadai.
Kementerian Perindustrian, ujar Gati, saat ini menggenjot program restrukturisasi yang bisa diakses mendorong pelaku usaha furnitur dan kerajinan lebih produktif.
Lewat program itu pelaku usaha lebih mudah mendapatkan peralatan mesin usaha karena pemerintah menanggung biaya pembelian mesin sebesar 30 persen dari total harga mesin jika buatan dalam negeri dan 25 persen jika mesinnya impor.
“Lewat program restrukturisasi itu potongan harga pembelian mesin yang bisa diperoleh pengusaha minimum Rp 5 juta dan maksimumnya Rp 300 juta, jadi pelaku IKM bisa beli mesin yang harganya paling tinggi sekitrar Rp 1, 5 miliar,” ujarnya.
Catatan Kementerian Perindustrian jumlah IKM furnitur 2016 total sebanyak 21.643 usaha. Di mana dari jumlah itu sebanyak 20.699 termasuk industri kecil dan 944 merupakan industri menengah.
Dari jumlah industri tersebut, catatan neraca perdagangan Januari 2019, sektor industri kerajinan dan furnitur mencatatkan surplus. Di mana industri furnitur mencatatkan nilai ekspor US$ 113,36 juta dan industri kayu, barang dari kayu, gabus, bamboo, anyaman, bamboo, rotan senilai US$ 283,84 juta.
Ketua JIFFINA 2019, Endro Wardoyo menuturkan pada pameran yang digelar 13-16 Maret di Yogya itu antusiasme masyarakat tanah air dan mancanegara begitu tinggi. “Pada event ini hampir 1000 buyer luar negeri yang mendaftarkan diri datang ke Yogyakarta, antusiasmenya besar,” ujarnya.
Dalam even ini sebanyak 300 pengusaha furnitur dan kerajinan turut serta. Penyelenggara pun menargetkan dapat tercapai transaksi sebesar US$ 80 juta selama pameran berlangsung atau meningkat dari total transaksi tahun lalu yang sebesar US$ 64 juta.