TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah aturan baru terkait pungutan ekspor sawit mulai diberlakukan. Salah satunya, pungutan tidak lagi bergantung pada harga referensi yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan, yakni US$570 per ton.
Simak: Studi IUCN: Kelapa Sawit Lebih Efisien dalam Penggunaan Lahan
“Karena kalau kita jadikan ini, dia kan harga satu bulan sebelumnya, harganya sekarang sudah di bawah sekali, jadi enggak representatif,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Rabu, 6 Maret 2019.
Namun, Oke belum merinci nantinya pungutan ekspor akan dikaitkan pada harga apa. Yang pasti, kata dia, pemerintah mencari mekanisme yang lebih representatif terhadap harga aktual CPO di pasar internasional. Saat ini, mekanisme tersebut tengah diformulasikan oleh Kementerian Keuangan. Itu nanti PMK (Peraturan Menteri Keuangan) yang berbicara,” ujar dia.
Sebelumnya, pemerintah melalui rapat koordinasi terbatas pada Kamis, 28 Februari 2019, memutuskan untuk menangguhkan pungutan ekspor sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sebab, harga aktual Crude Palm Oil (CPO) alias minyak kelapa sawit berada di kisaran US$545 per ton.
Baca: BPDP Sawit Siapkan Insentif untuk Program Biodiesel
Angka ini di bawah harga referensi yang ditetapkan pemerintah sejak Desember 2018. Dalam ketentuan saat ini, pemerintah membebaskan bea pungutan ekspor jika harga CPO berada di bawah US$570 per ton. Pungutan baru dilakukan sebesar US$ 10 sampai US$ 25 per ton jika harga naik menjadi di atas US$ 570 hingga US$ 619 per ton.
Aturan pungutan terbaru ini diberlakukan pemerintah demi menggenjot ekspor kelapa sawit yang tengah turun ditengah menurunnya harga di tingkat internasional. Selain itu, pemerintah juga telah lebih dulu menghapus kewajiban laporan surveyor (LS) bagi ekspor CPO dan gas.