TEMPO.CO, Jakarta -Sebanyak 14 perwakilan kepala negara anggota Panel Tingkat Tinggi atau PTT untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan bertemu untuk yang ketiga kalinya di Park Hyatt Hotel Abu Dhabi, Senin, 4 Maret 2019. Selaku anggota PTT, Presiden RI diwakili oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, yang telah ditunjuk sebagai Sherpa atau Perwakilan Khusus.
BACA: Menteri Susi Pamer Tas Ganepo: Dilindas Mobil Bisa Balik Lagi
PTT ini merupakan inisiatif Perdana Menteri Norwegia, Erna Solberg yang bertujuan untuk mengarusutamakan kepentingan menjaga kesehatan laut dunia untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. PTT ini diketuai oleh Perdana Menteri Norwegia dan Presiden Republik Palau, dengan anggota 14 negara, yakni Indonesia, Norwegia, Palau, Jepang, Australia, Chile, Fiji, Ghana, Jamaika, Meksiko, Namibia, Portugal, Kanada, dan Kenya.
Pertemuan Sherpa kali ini membahas mengenai Kertas Kerja atau Blue Papers, khususnya Paper # 14 tentang Holistic Ocean Economy dan Paper # 15 tentang IUU fishing and crimes related to fisheries. Blue Papers (15 BPs) merupakan kajian dari 47 ahli dari berbagai negara untuk memberi gambaran mengenai keadaan dan potensi laut dan sumber dayanya, mengidentifikasi faktor-faktor penyebab permasalahan laut, dan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi aksi untuk memanfaatkan ekonomi laut secara berkelanjutan. Selain itu, Pertemuan Sherpa membahas beberapa isu prioritas yang akan menjadi agenda utama PTT di tahun 2019, yaitu Perubahan Iklim, IUU fishing and crimes related to fisheries, dan Subsidi Perikanan.
Dalam menanggapi Kertas Kerja 14 tentang Holistic Ocean Governance, Susi menyatakan bahwa saat ini pengelolaan sumber daya laut dikelola secara terpisah oleh beberapa organisasi, seperti FAO yang mengurusi sektor perikanan, International Seabed Authority untuk sektor tambang bawah laut, dan IMO di bidang pelayaran. “Kertas Kerja 14 harus dapat menjawab isu efektivitas pengelolaan sumber daya laut di bawah organisasi yang berbeda-beda, dan melihat apakah dibutuhkan pembentukan badan permanen PBB untuk mengawasi sumber daya laut secara terintegrasi”, kata Susi.
Susi juga mengingatkan forum mengenai banyaknya pelanggaran HAM, perdagangan orang, dan perbudakan yang dialami oleh para pekerja di atas kapal yang menangkap ikan di laut lepas. Regional Fisheries Management Organization atau RFMO, sebuah organisasi regional yang bertanggungjawab atas tata kelola perikanan di laut lepas, tidak mengatur mengenai perlindungan pekerja-pekerja tersebut. Alasannya adalah karena peran RFMO terbatas pada manajemen pembagian stok ikan laut lepas. Indonesia berharap Kertas Kerja 14 dapat mendorong perluasan peran RFMO untuk menangani pelanggaran HAM, perdagangan orang, dan perbudakan di atas kapal ikan yang beroperasi di laut lepas.