TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih menyebut kinerja reforma agraria dalam empat tahun terakhir kepeminpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi masih stagnan. "Tujuan utamanya cenderung berjalan di tempat," ujar dia di Kantor Ombudsman, Jakarta, Senin, 4 Maret 2019.
BACA: Anies Lelang Jabatan, Begini Prosesnya Sejak Era Jokowi dan Ahok
Satu-satunya pencapaian dalam periode itu, ujar Alamsyah, adalah soal sertifikasi lahan. Hanya saja, menurut dia, sertifikasi itu hingga kini masih mencakup wilayah yang sudah jelas menjadi hak warga negara. "Lahan yang clean and clear," ujar dia.
Alamsyah menilai sertifikasi lahan masih bersifat belanja layanan administrasi biasa. Sehingga, walaupun layanan tersebut juga diperlukan oleh masyarakat, program itu belum menyelesaikan permasalahan ketimpangan lahan dan apa yang seharusnya dicapai reforma agraria. "Tapi ini bukan problem presiden semata, ini problem masyarakat."
BACA: Surya Paloh: Jokowi Tak Pernah Atur Anaknya Dapat Proyek Besar
Pada awal masa pemerintahan, Jokowi menegaskan komitmennya menjalankan reforma agraria sebagai program prioritas melalui reditribusi tanah 9 juta hektar yang dibagi ke dalam 4,5 juta hektar redistribusi tanah dan 4,5 juta hektar legalisasi tanah kepada petani dan rakyat kecil. Program itu tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019.
Di tempat yang sama, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika mengatakan pemerintah selalu menyampaikan bahwa telah menjalankan reforma agraria melalui Perhutanan Sosial dan Sertifikasi Tanah dalam empat tahun ke belakang. Namun, masih luput membicarakan dan melaporkan perkembangan realisasi redistribusi tanahnya dan kepada siapa itu diberikan.
"Baik janji redistribusi tanah dari konsesi perkebunan maupun dari konsesi hutan skala besar sebagaimana dijanjikan," kata dia. Alih-alih, dalam rentang waktu tersebut, publik justru melihat anomali-anomali di lapangan, ditandai dengan terus meningkatnya eskalasi konflik hingga jatuhnya korban akibat penanganan yang represif kepada masyarakat oleh aparat dan keamanan swasta di lapangan.
Berdasarkan catatan KPA, dalam satu dekade pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan empat tahun pemerintahan Jokowi, konflik agraria di wilayah perkebunan hampir selalu menempati posisi pertama. Pada periode 2015 – 2018, KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 1771 letusan konflik agraria di Indonesia. Sebanyak 642 letusan konflik terjadi di sektor perkebunan yang melibatkan HGU-HGU perusahaan negara dan swasta.
"Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintahan menjalankan reforma agraria dengan cara yang kurang tepat," kata Dewi. "Bukankah implikasi langsung dari pelaksanaan reforma agraria adalah adanya penyelesaian konflik agraria secara langsung di lapangan dan menurunnya letusan konflik yang terjadi."
Sebelumnya, Jokowi menjelaskan mengapa pada masa kepemimpinannya, pemerintah gencar menyerahkan sertifikat hak milik tanah atau sertifikat tanah wakaf. Menurut mantan walikota Solo ini, alasannya adalah supaya mencegah terjadinya sengketa tanah.
Sebab, kata Jokowi, setiap dirinya masuk ke desa, ke kampung, di luar Jawa maupun di Jawa, ia banyak menerima keluhan mengenai banyaknya sengketa lahan atau sengketa tanah. Tidak hanya urusan hak tanah milik pribadi tetapi juga tanah-tanah wakaf banyak yang menjadi sengketa.
DIAS PRASONGKO