TEMPO.CO, Jakarta - PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) menegaskan tidak ada kerugian dalam proses akuisisi terhadap 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia. Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Rendi Witular mengatakan perusahaannya memang mengeluarkan biaya hingga US$ 3,85 miliar dalam proses ini, namun ditujukan untuk meraup laba bersih US$ 18 miliar dan kontrol manajemen di Freeport Indonesia.
Baca juga: Pendapatan Freeport Anjlok, Bagaimana Inalum Lunasi Utang?
"Kalau diprediksi merugi, mana mungkin investor asing mau memberikan pendanaan melalui global bond (obligasi global) ke Inalum untuk akusisi Freeport," kata Rendi saat dihubungi di Jakarta, Sabtu, 2 Maret 2019. Terlebih, kata dia, pendanaan diberikan investor asing tanpa adanya jaminan aset serta saham milik Inalum dan anak perusahaannya.
Investor yang dimaksud, kata Rendi, di antaranya yaitu BNP Paribas dari Perancis, Citigroup dari Amerika Serikat, dan Mitsubishi UFJ Financial Group, Inc dari Jepang yang menjadi koordinator underwriter dalam penerbitan obligasi untuk pendanaan. "Kalau lembaga finansial ternama dunia saja percaya akan kemampuan Inalum, kenapa orang Indonesia sendiri yang tidak percaya?"
Kabar soal kerugian yang akan ditanggung oleh Inalum ini mencuat di tengah proses akuisisi yang bakal mencapai tenggat waktu hingga Juni 2019. Jika transaksi molor sampai tenggat waktu tersebut, Inalum harus mengembalikan dana pinjaman yang mereka peroleh berikut bunga sebesar 5,9 persen. "Itu maksudnya kalau tidak jadi transaksi divestasi hingga tenggat waktu," tutur Rendi.
Kekhawatiran soal kerugian ini juga muncul karena adanya perubahan operasi di Freeport, dari pertambangan terbuka atau open pit yang berakhir pada 2019, menjadi pertambangan bawah tanah. Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin, pada 10 Januari 2019 lalu membenarkan bahwa EBITDA (Earnings before interest, taxes, depreciation and amortization atau sebuah indikator untuk mengukur kesehatan sebuah perusahaan) Freeport bakal merosot akibat peralihan ini.
Namun, kondisi itu sampai 2023 hingga akhirnya produksi di tambang bawah tanah kembali stabil. Setelah itu, Freeport bakal mendapatkan laba sekitar US$ 2 miliar per tahun. Inalum akan mendapat bagian US$ 1 miliar karena memiliki 51 persen saham. Dengan obligasi atau utang yang hanya sekitar US$ 4 miliar plus bunga 5,9 persen (US$ 236 juta), maka Budi menyebut hanya butuh sekitar empat tahun untuk melunasinya.