TEMPO.CO, Jakarta - Tiga negara produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), yaitu Indonesia, Malaysia, dan Kolombia, hari ini, Kamis, 28 Februari 2019, bertemu di Hotel Mulia, Jakarta Pusat. Usai pertemuan, menteri dari ketiga negara sepakat untuk melawan larangan penggunaan biofuel berbahan dasar kelapa sawit oleh Uni Eropa dalam kebijakan Renewable Energy Directive (RED II).
Simak: Studi IUCN: Kelapa Sawit Lebih Efisien dalam Penggunaan Lahan
"Para menteri sepakat untuk mengirim joint mission ke Uni Eropa guna menyuarakan isu ini," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam The 6th Ministerial Meeting of Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), Kamis 28 Februari 2019.
Larangan dari Uni Eropa ini muncul karena mereka memasukkan minyak kelapa sawit dalam kategori high-risk Indirect Land Use Change (ILUC) alias pengalihan penggunaan lahan yang memiliki resiko tinggi. Akibatnya, minyak kelapa sawit dinilai berkontribusi pada deforestasi maupun perubahan iklim.
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend telah menegaskan bahwa Uni Eropa sama sekali tidak akan bertindak diskriminatif, terutama terhadap sawit Indonesia. Selama ini, standar perkebunan keberlanjutan juga diberlakukan pada sumber bahan biofuel lainnya seperti jagung, hingga kedelai. "Jadi tidak hanya sawit saja," ujarnya.
Tapi bagi Indonesia, Malaysia, dan Kolombia, kata Darmin, RED II adalah sebuah bentuk diskriminasi dan kompromi politik di internal Uni Eropa. Uni Eropa, kata dia, mengisolir minyak kelapa sawit demi menguntungkan bahan baku biofuel dari minyak nabati lainnya. "Larangan biofuel berbasis CPO lewat konsep ILUC ini, yang padahal secara ilmiah masih dipertanyakan," kata Darmin.
Alasannya, kriteria dalam ILUC memang sedari awal difokuskan pada CPO maupun deforestasi. Sebaliknya, ILUC ini tidak memasukkan masalah lingkungan pada sumber minyak nabati lainnya. "Gak bisa kayak ILUC, yang diserang di awal hanya kelapa sawit, itu namanya tidak beradab," ujarnya.
Menteri Industri Primer Malaysia Theresa Kok yang ikut hadir dalam pertemuan menilai Uni Eropa ketidakadilan Uni Eropa tidak hanya pada konsep ILUC, tapi juga pada upaya pengembangan sawit secara berkelanjutan oleh Indonesia dan Malaysia. "Kalau kita sudah membangun dengan sustainability, mereka justru gak respon, it is not fair (ini tidak adil)," kata dia.
Untuk itu, joint mission atau tim misi gabungan ketiga negara ini akan segera menyampaikan sikap langsung ke Uni Eropa. "Kami akan menyuarakan keprihatinan dan bantahan-bantahan kami," kata dia.