TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Trikasih Lembong menyebut ekonomi digital dan e-commerce sebagai sektor yang paling stabil di tengah lesunya suntikan modal asing pada 2018.
Baca juga: Gojek Disuntik Modal Asing, Kepala BKPM: Tak Ada Dampak Negatif
Ia menyebut dari total US$ 9-12 miliar suntikan investasi asing langsung alias foreign direct investment yang masuk setiap tahunnya, sekitar 15-20 persen atau sebesar sekitar US$ 2 miliar masuk ke sektor tersebut. "Tren ini masih sangat sehat dan kuat," ujar dia di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Selasa, 26 Februari 2019.
Lembong berujar sejauh ini belum terlihat para investor itu mulai kapok, gelisah, maupun kehilangan antusiasme atas potensi ekonomi digital. Malah, ia melihat minat para pemodal terhadap bisnis teknologi ini masih akan meningkat lagi.
"Masih akan masuk ke e-commerce dan digital, di setiap triwulan ada pengumuman start-up yang mendapat triliunan modal, ini kan terus berjalan," tutur dia.
Terkait struktur permodalan e-commerce yang didominasi pemodal asing, menurut Lembong, tak selalu membuat bisnis itu rentan. Musababnya modal yang sudah disuntikkan ke bisnis digital cenderung susah ditarik, berbeda dengan deposito di perbankan yang bisa kapan saja ditarik. "Investor ekonomi digital sudah tahu bahwa sekali modal masuk tidak bisa keluar," ujar dia.
Permodalan yang sudah masuk itu, ujar Lembong, hanya bisa dicabut dengan tiga cara. Pertama adalah dengan melantai di pasar modal alias melakukan initial public offering. Selain itu dengan cara menjual ke investor lain atau nilai investasinya dinolkan.
"Investor yang masuk ke startup sudah sadar bahwa sekali masuk harus komitmen total dan memang potensi keuntungannya cukup besar, sehingga mesti siap mengambil risiko tersebut," kata Lembong.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menjelaskan model bisnis dalam start-up inovasi berbeda dengan bisnis konvensional. Bila pada umumnya pemegang saham kerap memegang kendali manajemen dan pengambil keputusan, dalam usaha teknologi kendali berada pada founder alias pendiri.
"Artinya dia membedakan antara founder yang memiliki hak tertentu yang tidak dimiliki haknya oleh investor, jangan disamakan dengan yang lama," kata Rudiantara.
Di samping itu, Rudiantara melihat dalam bisnis berbasis inovasi, investasi masuk terhadap orang atau inovasi yang ditawarkan. Sehingga, ujar dia, dalam start-up unicorn, founder kerap kali tidak boleh keluar dari perusahaannya sendiri. "Sehingga investor itu hanya financial investor."
Rudiantara pun menegaskan modal asing yang masuk ke dalam negeri itu sejatinya dihabiskan untuk kepentingan konsumen. karena itu, ia melihat masyarakat Indonesia sebagai konsumen dari usaha tersebut sebenarnya paling banyak merasakan keuntungan dari modal itu.