TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan saat ini banyak investor global berminat untuk menanamkan uang pada perusahaan start up atau rintisan unicorn yang memiliki valuasi hingga US$ 1 miliar. Padahal jika ditilik lebih jauh perusahaan tersebut dilihat tak terlalu menguntungkan.
Baca juga: Revolusi Industri 4.0, Sri Mulyani: APBN Akan Fokus Kuatkan SDM
"Sebenarnya mereka hanya membakar uang, karena ingin tahu atau menambang data ketika semuanya bertumpuk banyak dan menjadi aset. Nah nilai aset data itu yang diincar," kata Sri Mulyani saat hadir dalam acara peluncuran data sampel di kantor BPJS Kesehatan, Jakarta Pusat, Senin 25 Februari 2019.
Menurut Sri Mulyani, data-data yang diincar investor tersebut adalah kekayaan data (big data) perusahaan unicorn yang mencakup keseluruhan data sektor ekonomi. Terutama mengenai data yang merekam kegiatan ekonomi, konsumsi dan transaksi konsumen.
Bendahara negara ini juga menilai data-data ekonomi itu bakal menjadi komoditas baru yang berharga dalam kegiatan ekonomi. Karena itu tak perlu heran, jika data saat ini dikenal sebagai tambang baru atau the new mining.
Baca Juga:
"Kalau dulu orang mau kaya harus punya tambang batu bara, tambang nikel, tambang emas, minyak bumi. Tapi sekarang di industri 4.0 adalah data dan teknologi bukan natural resource," kata Sri Mulyani.
Karena itu, saat ini data-data ekonomi masyarakat dari perusahaan-perusahaan unicorn tersebut disebut menjadi komoditas paling mahal. Dengan kepemilikan data itu, perusahaan besar tak perlu repot untuk melakukan riset bisnis bila sudah menguasai data ekonomi masyarakat.
Artinya, perusahaan bisa mengetahui tren pergerakan konsumsi dan transaksi ekonomi konsumen. Sebab, dengan adanya data-data itu perusahaan bisa melihat kecenderungan masyarakat dalam mengambil keputusan di sektor ekonomi terutama mengenai konsumsi dan transaksi.
"Bagaimana orang membuat keputusan, itu jadi valueable," kata Sri Mulyani.