TEMPO.CO, Jakarta - Debat capres putaran kedua yang akan digelar malam ini mengangkat sejumlah isu ekonomi yakni sumber daya alam, energi dan pangan, lingkungan hidup, serta infrastruktur. Isu panas mulai dari divestasi Freeport hingga defisit bahan bakar minyak atau BBM diperkirakan bakal bergulir dan dibahas kedua calon presiden.
Baca: Debat Capres Kedua, Prabowo Bakal Ungkit Soal Air Bersih
Calon presiden inkumben Joko Widodo atau Jokowi diperkirakan bakal mengangkat isu kedaulatan energi dengan membawa isu divestasi Freeport dan akuisisi Blok Rokan sebagai senjata pada debat kali ini. "Isu tersebut akan diklaim sebagai bentuk nyata kedaulatan energi," ujar Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira dalam pesan singkat kepada Tempo, Ahad, 17 Februari 2019.
Namun, sang penantang, calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto, juga bakal memakai isu Freeport untuk menghantam Sang Inkumben. "Ongkos akuisisi saham Freeport yang beratkan Inalum juga bisa dikeluarkan oleh Prabowo," ujar Bhima.
Di sisi lain, Prabowo diprediksi telah menyiapkan isu melebarnya defisit minyak dan gas pada era Jokowi sebagai amunisi lainnya pada malam hari ini. Hal ini didasarkan pada data Badan Pusat Statistik yang menyebutkan Indonesia memang tengah mengalami defisit energi, terutama minyak.
Pasalnya, Tanah Air masih memiliki ketergantungan terhadap bahan bakar minyak impor yang sangat besar, hingga mencapai 41 persen dari konsumsi BBM. Kondisi itu diperkirakan bakal semakin parah bila melihat produksi migas yang cenderung menurun.
Pada 2018, produksi migas Indonesia lebih rendah 30 persen dibandingkan 2014. Bhima mengatakan persoalan itu disebabkan oleh anjloknya investasi, khususnya di hulu migas, yang berimbas pada sulitnya mendorong produksi. "Itu dipengaruhi erat oleh kurangnya koordinasi dan kepastian kebijakan serta bolongnya UU migas."
Di sisi lain, Bhima mengatakan kebutuhan energi diperkirakan akan terus meningkat dan mencapai 2.744 juta Barrel Oil Equivalent (BOE) pada tahun 2024. Akibatnya, ia menyebut impor energi sulit untuk dihindari.