TEMPO.CO, Jakarta - Standard Chartered Indonesia memperkirakan tren reksa dana saham positif pada tahun 2019. Kendati, pada 2018 kinerja Indeks Harga Saham Gabungan negatif, yaitu di level -2,54 persen.
BACA: Yusuf Mansur Targetkan Seluruh Pengguna Paytren Miliki Reksa Dana
"Tahun lalu banyak dana asing keluar dari Indonesia atau emerging market lain, kalau kita lihat awal 2019, Januari - Februari saja kita lihat banyak dana sudah masuk kembali ke dalam negeri," ujar Managing Director & Head, Wealth Management, Standard Chartered Bank Indonesia, Bambang Simarno, di Hotel Mulia, Jakarta, Senin, 11 Februari 2019.
Alasan lainnya yang membuat Bambang optimistis kinerja reksa dana saham bakal moncer pada tahun ini adalah kondisi perekonomian global. Di awal tahun ini, Amerika Serikat terlihat mulai mengerem kenaikan suku bunga dan perang. Selain itu perang dagang antara negeri Abang Sam dan Cina juga diperkirakan akan mereda. "Jadi, kami melihat kondisi itu cukup positif untuk perkembangan reksa dana saham di Indonesia," kata Bambang.
BACA: Kejar Investor Recehan, Paytren Luncurkan Reksa Dana Online
Baca Juga:
Pada tahun lalu, kondisi perekonomian global sempat mengalami gonjang ganjing setelah bank sentral AS, The Fed, secara jor-joran menaikkan suku bunga acuannya sepanjang 2018. Tercatat Fed Fund Rate naik hingga empat kali tahun lalu. Di samping itu, perang dagang antara AS dan Cina juga terus menghangat.
Belum lagi apabila melihat tren beberapa tahun ke belakang. Bambang meliat reksadana saham memang cenderung dicari oleh nasabah. Minat masyarakat terhadap reksa dana, menurut dua, dipicu oleh kinerja produk investasi tersebut yang pada beberapa waktu ke belakang masih di atas 15 persen.
Secara umum, Bambang mengatakan dana kelolaan reksa dana di Indonesia dalam empat tahun terakhir naik dua kali lipat dari Rp 240 triliun pada 2014 menjadi Rp 500 triliun pada 2018. Sementara, jumlah investornya naik dari 250 ribu pada 2014 menjadi sekitar 800 ribu.
Selain reksa dana saham, produk investasi yang bakal cemerlang di tahun ini, kata Bambang, adalah obligasi pemerintah, baik obligasi ritel maupun sukuk. "Produk itu banyak dibeli nasabah karena tingkat pengembaliannya cukup lumayan, sukuk yang terakhir dikeluarkan saja kuponnya di atas 8 persen, itu menarik," kata dia. Apalagi, angka itu juga jauh lebih besar dari nilai bunga deposito.