TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai pemerintah harus bisa menjelaskan program listrik 35 ribu MW tidak gagal meski belum terealisasi penuh hingga saat ini. Sebab, program tersebut sejak awal digadang-gadang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Wapres M Jusuf Kalla (JK).
Baca juga: Jonan Pastikan Progres Proyek Listrik 35 Ribu MW Sesuai Target
"Harusnya pemerintah jelaskan program 35 ribu MW bukan gagal, tapi memang harus disesuaikan karena ada perubahan kondisi," kata Fabby di Jakarta, Senin, 11 Februari 2019.
Menurut dia, program pembangunan pembangkit dengan total 35 ribu MW hingga 2019 tadinya direncanakan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi tujuh persen dan pertumbuhan listrik di atas 8,5 persen per tahun.
Namun kenyataannya sepanjang pemerintahan Jokowi-JK, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai rata-rata lima persen dan pertumbuhan listriknya hanya tumbuh kurang dari lima persen.
"Memang asumsi-asumsi 35 ribu MW tidak valid dan kita sebenarnya tidak butuh tambahan kapasitas 35 ribu MW pada 2019," katanya.
Fabby menuturkan sejak 2017 lalu pemerintah dan PT PLN sudah menjadwal ulang pembangunan pembangkit dari yang seharusnya selesai pada 2019 menjadi 2023-2024.
Ia merinci sekitar 2.000 MW telah beroperasi saat ini karena merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) yang masa konstruksinya kurang dari setahun. Sebanyak 15 ribu MW tengah dalam konstruksi, sisa 14 ribu MW ditunda hingga 2021, dan sekitar 2.000 MW sisanya belum dimulai/direncanakan.
"Jadi memang begitu kondisinya dan memang perlu di-'review' dan sudah dilakukan. Sah-sah saja pemerintah ubah target," katanya.
Kondisi program listrik 35 ribu MW tersebut ditengarai akan jadi salah satu hal yang dibahas dalam Debat Capres kedua 17 Februari mendatang.
Program listrik 35 ribu MW merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk menciptakan kemandirian energi dengan memanfaatkan secara optimal sumber-sumber energi terbarukan.
ANTARA