TEMPO.CO, Jakarta - Head of Corporate Finance PT Jasa Marga (Persero) Tbk Eka Setya Adrianto mengatakan pembiayaan pembangunan jalan tol yang bersumber dari utang luar negeri memiliki dua mata pisau berbeda. Di satu sisi, ada tantangan untuk membayar utang kepada kreditur ataupun investor yang memberikan dana.
BACA: Sebut Utang Pemerintah Aman, Chatib Basri Ingatkan 2 Tantangan
"Tapi di sisi lain, kalau perusahaan bisa utang, artinya dia punya trust, dipercaya sama pihak ketiga," kata Eka saat ditemui dalam diskusi di Menara BCA, Jakarta Pusat, Kamis, 7 Februari 2019. "Kira-kira investornya mau gak pinjemin uang kalau tahu Jasa Marga besoknya mau bangkrut, tentunya kami gak berani juga."
Tak hanya itu, kata Eka, para kreditur di luar negeri bukanlah orang biasa, sehingga tidak akan mudah begitu saja menggelentorkan dana pinjaman bagi pembiayaan infrastruktur di Indonesia. "Apalagi kalau berhubungan dengan capital market di luar negeri yg sangat rigid aturannya."
Eka juga menganalogikan utang ini seperti orang yang sedang membeli rumah lewat cicilan utang, bukan tunai. "Rata-rata kredit selama cicilan idealnya sepertiga dari penghasilan." Tapi, Eka tetap yakin bahwa infrastruktur tetap menjadi bisnis yang menarik dan mencontohkan bagaimana Jasa Marga tetap meraup pendapatan yang tinggi meski beberapa kali terjadi goncangan ekonomi.
BACA: Alasan Tim Prabowo Gemar Ungkit Soal Utang Pemerintah
Pembangunan tol lewat utang luar negeri ini sebelumnya dikritik oleh calon wakil presiden nomor urut 02 Sandiaga Uno pada awal Januari 2019. Sandi mencontohkan pembangunan Tol Cikampek-Palimanan alias Tol Cipali yang melibatkan perusahaannya PT Saratoga Investama Sedaya Tbk yang hanya mengandalkan utang perbankan lokal, bukan luar negeri.
Sandiaga juga mengatakan akibat pembangunan infrastruktur besar-besaran, utang pemerintah membengkak menjadi Rp 5.000 triliun lebih. “Kenapa ini tidak dilakukan (pemerintah membangun tanpa utang), karena ada kebijakan pro-penambahan utang,” kata dia.
Jauh sebelum itu yaitu Desember 2017, Jasa Marga memang berutang dengan menerbitkan obligasi senilai Rp 4 triliun di Bursa London (London Stock Exchange) pada Desember 2017. Direktur Utama Jasa Marga Desi Arryani mengatakan obligasi bernama Komodo Bonds ini memungkinkan perusahaannya untuk lebih mendiversifikasi sumber pendanaannya.
Tapi pada Desember 2018, Kementerian Badan Usaha Milik Negara mencatat utang dari perusahaan pelat merah sebesar Rp 5.217 triliun pada kuartal III 2018. Angka ini melonjak hampir dua kali lipat dibandingkan dengan posisi pada 2016 yang sebesar Rp 2.263 triliun.