TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga pengawas pelayanan publik, Ombudsman RI, meminta Perum Bulog untuk membentuk stock disposal policy alias kerangka kebijakan sisa cadangan sebelum memutuskan untuk mengimpor beras. Kebijakan ini bertujuan agar kegiatan ekspor tidak membuat stok dalam negeri berkurang di saat permintaan tinggi, sehingga bisa memicu kenaikan harga di pasaran.
BACA: Jokowi Perintahkan Bulog Serap Jagung saat Panen Februari
"Jangan sampai salah manajemen stok, seolah-olah di luar berjaya sebentar, tapi di dalam kelabakan," kata Komisioner Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih dalam konferensi pers peringatan dini Ombudsman terhadap impor empat komoditas pangan di Kantor Ombudsman, Jakarta Selatan, Senin, 4 Februari 2019.
Rencana ekspor ini sebelumnya disampaikan oleh Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso yang ditargetkan tahun ini. Menurut Buwas, sapaan akrabnya, gudang Bulog yang berkapasitas 3,6 juta ton diperkirakan penuh pada musim panen tahun ini, sedangkan hingga saat ini perseroan masih menyimpan cadangan sebesar 2,1 juta ton.
Buwas mengatakan salah satu indikator ekspor akan segera dilakukan ialah ketika gudang perseroan penuh. "Kami akan tetap serap dan nanti kami kelola dengan ekspor, sebab sudah ada beberapa negara ASEAN yang sudah kami hubungi dan siap untuk membeli karena butuh," ungkapnya, 21 Januari 2019.
BACA: Larang Jokowi ke Cipinang, Pedagang: Harga Beras Turun Terus
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution angkat bicara soal rencana ekspor beras ini. "Kalau bisa ekspor itu harus terus menerus. Itu baru ekspor namanya. Tapi kalau cuman sekali-sekali peristiwa ekspor, sudahlah lupakan," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Selasa, 22 Januari 2019.
Alamsyah melanjutkan, Bulog bisa saja mengekspor beras, tapi harus memastikan kualitas beras di gudang untuk kebutuhan operasi pasar bisa berkualitas. Jika tidak, kata dia, maka beras Bulog bisa kalah bersaing dengan beras lain di pasaran sehingga operasi pasar pun tidak efektif. "Jadi klasifikasikan dulu stoknya, jangan tergesa-gesa," ujarnya.
Masalah lain, kata Alamsyah, juga muncul karena program Bantuan Pangan Non-Tunai alias BPNT mulai sejak 2018. Dari semula 53 persen penerima manfaat BPNT, kini meningkat menjadi 80 persen sehingga Bulog harus menyerap lebih banyak lagi beras. "Pemanfaatan stok berkualitas harus lebih diutamakan agar operasi pasar cukup efektif, bukan berprioritas pada ekspor," ujarnya.