TEMPO.CO, Tokyo - Bank Indonesia atau BI angkat bicara soal polemik utang pemerintah yang belakangan kembali ramai dibicarakan menjelang berlangsungnya pemilihan presiden. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menilai keputusan pemerintah berutang adalah suatu keniscayaan, terutama bagi negara yang punya masalah dengan neraca pembayarannya, dan Indonesia salah satunya.
BACA: Menkeu Era SBY Angkat Bicara Soal Utang, Bandingkan dengan Yunani
"Indonesia memang perlu funding dari luar negeri, dalam bentuk modal saham atau utang. Siapa pun pemerintahnya, pasti akan berutang," ujar Mirza usai bertemu dengan kalangan investor, di Tokyo, Jepang, Kamis malam, 31 Januari 2019.
Mirza menjelaskan, saat ini defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) cukup besar yang mencapai US$ 17-20 miliar per tahun. "Kalau tidak mau neraca transaksi berjalan defisit, harus ada surplus per tahun dari nonmigas," ucapnya.
Surplus, menurut Mirza, bisa diwujudkan tak hanya dengan mendorong ekspor. "Kalau ekspor komoditas sedang sulit karena harganya turun akibat pelemahan ekonomi global, kita bisa genjot pariwisata. Kinerjanya bahkan bisa lebih baik dari perkembangan industri manufaktur," tuturnya.
Data Kementerian Keuangan menyebutkan neraca pembayaran Indonesia sepanjang 2016 dan 2017 terbantu karena meskipun ada CAD di kisaran US$ 17 miliar, tapi terkompensasi dengan surplus di sektor finansial dan keuangan yang nilainya berkisar US$ 29 miliar.
Sementara hingga kuartal ketiga pada 2018, CAD mencapai US$ 22,4 miliar dengan surplus di sektor finansial dan keuangan hanya sebesar US$ 11,1 miliar. Hal ini terutama dipicu oleh ketidakjelasan situasi ekonomi global, meskipun investasi langsung membaik akibat ada perbaikan iklim investasi yang dibuktikan kenaikan peringkat indeks daya saing Indonesia dari 47 ke 45.
Kinerja ekspor juga lesu karena sepanjang 3 kuartal di 2018 itu hanya mencapai US$ 135,9 miliar sementara impornya sebesar US$ 133,6 miliar. Walhasil surplus perdagangan di 2018 menurun dibanding 2016 dan 201.
Selain itu ada tren kenaikan CAD selama tiga tahun belakangan ini. CAD selama tiga kuartal pertama di 2018 mencapai US$ 22,4 miliar. Angka itu lebih tinggi ketimbang 2017 dan 2016 yang masing-masing mencatat defisit US$ 17,3 miliar dan US$ 17 miliar.
Adapun simpanan valas per Oktober 2018 mencapai US$ 115,2 miliar. Angka itu turun US$ 16,7 miliar ketimbang per Januari 2018 sebesar US$ 131,9 miliar.
Secara keseluruhan hal-hal tersebut di atas memicu kenaikan angka rasio CAD terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada 2018, rasio CAD terhadap PDB mencapai -2,9 persen, atau lebih buruk ketimbang 2016 dan 2017 sebesar -1,8 persen dan -1,7 persen.
Dengan kondisi neraca pembayaran seperti itu, menurut Mirza, Indonesia harus mencari sumber pendanaan agar defisit bisa tertanggulangi, salah satunya dengan utang. Yang perlu digarisbawahi adalah untuk membayar utang itu, kembali, Indonesia harus memiliki pendapatan di mana sumbernya bisa dari ekspor ataupun pariwisata.
Lebih jauh Mirza mencontohkan negara lain yang juga mengambil opsi utang sebagai cara menutup kekurangan dana pemerintah dalam membangun seperti Thailand ataupun Jepang.
Proporsi utang luar negeri pemerintah dan swasta Thailand adalah 35 persen dari seluruh PDB. Sementara negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat juga terjerat utang yang besarnya mencapai 226 persen dan 107 persen dari PDB.
Bila dibandingkan dengan Indonesia yang proporsi utang tak lebih dari 30 persen dari PDB, maka besarnya terbilang aman. Pengelolaan utang pun sudah dilakukan secara hati-hati.
Kondisi Indonesia, Thailand dan Filipina pada masa krisis moneter pada tahun 1997 - 1998, kata Mirza, sebetulnya mirip karena sama-sama mengalami defisit. "Tapi bedanya Thailand pada saat itu merespons dengan langsung switch haluan dengan menggenjot ekspor dan pariwisatanya serta modal asingnya," ucapnya.
Akibatnya, defisit neraca transaksi berjalan di Thailand tidak buruk dan kurs Baht relatif stabil. Adapun Indonesia menikmati lonjakan harga komoditas (commodity booming) seperti miyak sawit, timah, nikel pada tahun 2000, sehingga tak ada masalah defisit.
Oleh karena itu, kata Mirza, Bank Indonesia dan pemerintah kini terus mempromosikan Indonesia kepada sejumlah negara agar menambah realisasi investasi langsungnya (FDI) di Indonesia. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan sejumlah kebijakan yang pro investor misalnya dengan memberi berbagai insentif pajak untuk ekspor dan investasi.
Baca berita lainnya tentang utang di Tempo.co.