TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menyiapkan Sistem Pemantau Air Lahan Gambut (Sipalaga) untuk mencegah potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) akibat kekeringan.
Baca juga: Berebut Lahan Gambut di Rawa Tripa
Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah (PTPSDW) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Yudi Anantasena menyatakan inovasi teknologi Sipalaga merupakan sebuah solusi teknologi yang dikembangkan BPPT bersama Badan Restorasi Gambut (BRG).
“Sistem ini mampu mendeteksi tinggi muka air dan kelembaban sehingga bisa segera dilakukan upaya preventif untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut jika kondisi mulai kering,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu 30 Januari 2019.
Menurutnya, kerusakan lahan gambut bisa disebabkan pengeringan berlebihan sehingga lahan gambut kering ini memicu terjadinya kebakaran. Sistem ini nantinya dapat dimonitor secara online oleh aplikasi pemantauan tinggi muka air (TMA) yang dikembangkan BPPT bersama BRG.
Baca Juga:
Yudi mengungapkan bahwa dalam pemantauan lahan gambut, BRG memerlukan informasi mengenai kondisi lahan gambut secara real time, sehingga lahan gambut dapat terpantau secara berkala.
“BRG telah melakukan pemasangan alat pemantau TMA sebanyak 142 buah yang telah dikemas kedalam sistem Sipalaga hasil kerja sama dengan BPPT yang telah dirintis sejak pertengahan tahun 2016 lalu,” jelasnya.
Kepala Badan restorasi Gambut Nazir Foeadi mengatakan sistem pemantau air lahan gambut (SIPALAGA) ini dipersiapkan untuk mencegah potensi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) akibat kekeringan.
“Kita ingin menjaga lahan gambut tetap basah. Cara terbaik yaitu membangun sensor yang membaca lahan secara real time,” ujarnya.
Sensor tersebut urainya, akan dipasang di setiap lahan gambut. Sistem Sipalaga ini bisa mendeteksi tinggi muka air (TMA) dan kebasahan lahan gambut, di ekosistem gambut secara langsung.
Agar lahan gambut tetap basah, imbuhnya, BRG akan memantau secara real timesetiap 60 menit. Kemudian, datanya akan dikirim ke server BRG dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk dilakukan pengecekan.
"Kalo airnya track-nya menurun terus, dan ramalan cuaca dari BMKG tidak akan hujan selama 20 sampai 30 hari kedepan, berarti itu rawan," jelasnya.
Jika hal yang tidak diinginkan tersebut terjadi, Kepala Badan Restorasi Gambut akan menginformasikan ke Satuan Petugas (Satgas) agar meningkatkan patroli.
"Kemudian Pemerintah daerah akan menjaga, dan fasilitator desa BRG supaya bisa masuk bersama Kepala Desa dan masyarakat agar membantu.”