TEMPO.CO, Jakarta - Upaya perbankan untuk melakukan penggabungan (merger) dan akuisisi berjalan lambat beberapa tahun terakhir. Jumlah bank umum konvensional dalam enam tahun terakhir baru berkurang sebanyak 5 bank menjadi 115 di akhir tahun lalu. Sebuah wacana untuk mendorong percepatan upaya konsolidasi itu pun dilontarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator.
Simak: BI: Perbankan Sepakat Tampung Devisa Hasil Ekspor
Wacana tersebut adalah peninjauan ulang aturan kepemilikan tunggal atau single presence policy yang termuat dalam Peraturan OJK Nomor 39/POJK.03/2017. Jika aturan tersebut dilonggarkan, maka bisa saja pemegang saham pengendali perbankan memiliki lebih dari satu bank, tanpa perlu melakukan merger. “Ada permintaan untuk merevisi aturan itu, dan sedang kami pikirkan,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, di Jakarta, Selasa 29 Januari 2019.
Adapun permintaan itu datang langsung dari industri perbankan untuk memfasilitasi aksi akuisisi yang diperkirakan akan banyak direalisasikan tahun ini. Saat ini dalam beleid tersebut menyebutkan bahwa pihak yang menjadi pemegang saham pengendali sebuah bank, tak boleh menjadi pengendali di bank lain. Sehingga, untuk menyiasatinya, mereka harus melakukan akuisisi, merger, hingga membentuk holding perbankan.
Meski demikian, Wimboh mengatakan revisi beleid memang tak secara langsung akan mengurangi jumlah bank di dalam negeri. “Sebab dasarnya harus market based, kita ikuti saja kebutuhan market, tidak bisa dipaksakan,” katanya. “Kalau bisa hidup ya tidak masalah, kalau sakit ya cari mitra.”
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II OJK Budi Armanto berujar konsolidasi dibutuhkan perbankan untuk meningkatkan daya saing di tengah kompetisi yang semakin ketat. “Konsolidasi bank sepertinya susah sekali, padahal kita harus berhadapan dengan bank-bank negara tetangga seperti di ASEAN,” ucapnya, kepada Tempo.
Budi mengatakan dengan ide pelonggaran ketentuan kepemilikan tunggal itu diharapkan dapat memperlincah proses akuisisi. “Jadi bank-bank kecil yang ingin diakuisisi tidak harus dimerger, tetapi dapat dijadikan satelit untuk tujuan tertentu,” katanya. Tujuan yang dimaksud dapat disesuaikan dengan rencana bisnis bank. “Misalnya dikhususkan untuk bank digital atau berbasis teknologi (fintech), atau tujuan lain.”
Ketua Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas) Kartika Wirjoatmodjo mengapresiasi dukungan yang diberikan regulator tersebut. Terlebih, menurut dia jumlah bank yang ada saat ini dinilai terlalu banyak. “Karena idealnya jumlah bank di Indonesia berkisar di 50 hingga 70 bank saja, sehingga konsolidasi memang dibutuhkan,” ujarnya. Kartika pun bercermin pada kondisi persaingan perebutan likuiditas antar bank yang semakin ketat beberapa waktu terakhir. Bank kecil mulai merasa sebagai korban dari pertarungan perebutan dana nasabah yang berlanjut hingga awal tahun ini. Sebab, bank-bank besar juga ikut menawarkan bunga yang tak kalah tinggi.
Ekonom Institute Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menuturkan permasalahan yang ada dalam persaingan perbankan saat ini memang utamanya dikarenakan jumlah bank yang kurang ideal. “Jadi memang seharusnya regulator memberikan insentif untuk mempercepat akuisisi dan merger bank-bank skala kecil BUKU 1 dan BUKU II,” ujarnya.
GHOIDA RAHMAH | DIAS PRASONGKO