TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia meningkatkan pengawasan dan pengaturan utang luar negeri (ULN) untuk menjamin kondisinya tetap aman dan terkendali. Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Aida Budiman memastikan bank sentral tidak lengah mengawasi aktivitas utang pemerintah maupun swasta.
Simak: BI Tahan Suku Bunga Acuan, Darmin: Amerika Enggak Bergerak
“Kami selalu memperhatikan risiko-risiko terkait ULN, apakah sudah sesuai dengan kondisi ekonominya, tidak berlebihan atau sesuai dengan kebutuhan financing-nya, dan strukturnya kami lebih memilih yang jangka panjang,” ujarnya, di Jakarta, Kamis 24 Januari 2019.
Aida menuturkan setiap pihak yang akan melakukan transaksi ULN wajib melakukan pelaporan dan meminta izin dari bank sentral, Dia mencontohkan, untuk swasta non bank seperti korporasi diwajibkan memenuhi batasan rasio likuiditas dan rasio lindung nilai (hedging). “Ada juga batasan minimum credit rating kalau mau ULN.” Untuk menyempurnakan pengawasan tersebut, Bank Indonesia mengatur secara komprehensif sejak proses pengajuan, perizinan, hingga pelaporan.
Terbaru, Bank Indonesia merevisi Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/7/PBI/2014 tentang Pengelolaan Utang Luar Negeri Bank dan Kewajiban Bank Lainnya dalam Valuta Asing. Revisi itu tertuang dalam PBI Nomor 21/1/PBI/2019.
Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Riza Tyas menjelaskan terdapat sejumlah perubahan, salah satunya adalah memasukkan pengaturan tentang model transaksi ULN baru yang dikenal dengan istilah Transaksi Partisipasi Risiko (TPR). “Ini merupakan bentuk transaksi pengalihan risiko atas suatu kredit atau fasilitas lainnya terhadap pihak ketiga,” katanya.
Dia mengatakan transaksi itu biasa dilakukan perbankan untuk mengelola likuiditas. “Bank domestik misalnya mengadakan perjanjian dengan bank asing untuk mengambil alih risiko utang yang dimiliki bisa sebagian atau seluruhnya,” ucapnya. Menurut Riza, transaksi ini melibatkan aliran dana dari bank di luar negeri ke bank di dalam negeri, sehingga memunculkan risiko eksternal yang patut dilindungi. “Ini memang baru di Indonesia, baru masuk sekitar 2016-2017, bank yang melakukannya juga masih sedikit begitu juga nominalnya belum signifikan, tapi kami mengantisipasi.”
Tak hanya itu, Bank Indonesia juga memutuskan untuk menambah sanksi bagi perbankan yang melanggar aturan ULN, berupa pembatasan keikutsertaan dalam operasi moneter guna mengatasi persoalan likuiditas. “Ini merupakan gradasi sanksi yang terberat, sebelumnya ada teguran tertulis, dan beberapa sanksi lainnya,” kata Riza. “Yang kami tutup adalah akses yang sifatnya untuk investasi seperti transaksi swap, kalau transaksi repurchase agreement (Repo) dan lending facility tetap kami buka.”
Ketentuan lain yang diberlakukan bank sentral bagi perbankan yang akan mengajukan ULN jangka pendek wajib memiliki saldo harian minimal 30 persen. Sedangkan, bagi yang ingin mengajukan izin ULN jangka panjang wajib mencantumkannya dalam rencana bisnis bank dan melaporkan realisasinya.
“Tahun ini rencana nominal ULN perbankan itu sekitar US$ 8,02 miliar, ini menurun dibandingkan realisasi tahun lalu US$ 9,9 miliar,” katanya. “Dan dari 114 bank tidak sampai 30 persen yang mengajukan rencana pinjaman luar negeri.”