TEMPO.CO, Jakarta - Bank kecil di Indonesia mulai merasa sebagai korban dari pertarungan perebutan dana nasabah yang berlanjut hingga awal tahun ini. Babak baru kenaikan bunga diakibatkan oleh kondisi likuiditas yang tak kunjung melonggar.
Baca juga: Prabowo Kritik Bank Nelayan Jokowi, KNTI: Ada Tapi Masih Kurang
Presiden Direktur PT Bank Mayora Irfanto Oeij mengaku mau tak mau harus ikut menawarkan bunga spesial untuk menarik deposan besar demi menjaga likuiditas. “Dampak dari persaingan ini biaya dana (cost of fund) akan semakin tinggi, dan ini akan menjadi masalah untuk bank-bank kecil,” ujarnya, kepada Tempo, Rabu 23 Januari 2019.
Irfanto menuturkan harus memutar otak agar tak terjebak dalam pusaran persaingan perang bunga spesial ini. Di antaranya adalah berfokus menggenjot sumber pendanaan murah, seperti peningkatan tabungan. “Kami mengadakan beberapa program marketing baik untuk nasabah baru maupun existing.”
Persaingan berburu likuiditas ini telah menjadi perhatian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sejak akhir tahun lalu. Secara rutin, LPS mengerek tingkat bunga penjaminan simpanan untuk mengimbangi tren kenaikan bunga deposito perbankan yang tak kunjung mereda. Terakhir, LPS kembali menaikkan bunga penjaminan 25 basis points (bps) pada pertengahan bulan ini, yaitu menjadi 7 persen dan 9,50 persen, masing-masing untuk simpanan rupiah bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR).
Adapun peningkatan bunga yang terjadi tak lepas dari kebijakan Bank Indonesia yang agresif menaikkan suku bunga acuan hingga 175 bps sepanjang tahun lalu hingga kini di level 6 persen, mengantisipasi kenaikan bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (The Fed).
Chief Financial Officer PT Bank Sahabat Sampoerna Henky Suryaputra mengungkapkan permasalahan serupa. Bank dengan kategori permodalan BUKU II itu sudah beberapa kali menaikkan bunga spesialnya agar tak kalah bersaing, hingga saat ini berada di kisaran 8 persen. Dia pun menyesalkan, bank-bank besar yang justru menawarkan bunga deposito lebih tinggi, sehingga membuat persaingan tak lagi sehat. Sebab, idealnya bank besar bisa lebih efisien dan menawarkan bunga yang lebih murah. “Banyak juga yang memberikan trik yang mana di bilyet hanya dicatat interest rate rendah, tapi lewat belakang dikasih cashback, memang ini sering dilakukan bank besar untuk menghindari Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” ucap Henky.
Terkait hal ini, Henky mendesak otoritas turun ke lapangan untuk menindak dan menertibkan perbankan yang memberi penawaran bunga kelewat batas. “Regulator sudah seharusnya mengendalikan ini, karena aturan yang sudah ada pun pengawasannya tidak serius, sehingga banyak yang melakukan trik yang tampaknya seperti tidak melanggar padahal sudah melanggar cukup luar biasa,” katanya.
Presiden Direktur PT Bank Dinar Indonesia Tbk Hendra Lie menekankan urgensi peninjauan kembali pengaturan batas atas (capping) untuk bunga deposito spesial. Peran OJK selaku regulator dibutuhkan untuk menengahi dan mengendalikan persaingan bunga yang terjadi. Sebab, jika dibiarkan tak terkendali, kondisi ini akan menggerus kinerja bank kecil. “Karena bank BUKU III ke atas kan memiliki fasilitas lebih baik, produknya lebih beragam, dan teknologinya lebih advance,” ujarnya.
Direktur PT Bank Central Asia Tbk Santoso berujar tren kenaikan bunga spesial itu lebih disebabkan oleh patokan suku bunga acuan yang meningkat dan persaingan bunga di pasar. “Walaupun dari sisi likuiditas kami cukup aman, tapi memang ada kecenderungan kenaikan rasio LFR yang sekarang sekitar 81 persen,” katanya. BCA kini menawarkan bunga spesial dengan kisaran 5,75 hingga 6,25 persen.