TEMPO.CO, Jakarta -Pertumbuhan ekspor jasa pada tahun ini diyakini tidak akan melampaui 6 persen alias lebih loyo dari tahun lalu. Kondisi ekonomi makro yang belum menentu disinyalir sebagai penyebabnya.
Simak: Soal Ekspor Beras, Darmin: Kalau Cuma Sekali - kali, Lupakan
Policy Analyst dari Indonesia Services Dialogue Muhammad Syarif Hidayatullah menjabarkan, nilai ekspor jasa tahun lalu masih mampu tumbuh 6 persen —6,5 persen dari pendapatan tahun sebelumnya senilai US$24,79 miliar.
Untuk tahun ini, kinerja ekspor jasa dibayangi oleh ketidakpastian ekonomi global seperti perang dagang dan sinyal negatif dari pertumbuhan ekonomi negara-negara mitra dagang Indonesia. Dengan demikian, dia meyakini, pertumbuhan ekspor jasa pada 2019 akan berada pada rentang 5,5 persen —6 persen.
“Ekspor jasa Indonesia pada 2016 dan 2017, berturut-turut tumbuh 4,9 persen dan 6,3 persen. Saat itu, pertumbuhan ditopang oleh perbaikan iklim perdagangan dan ekonomi dunia yang lesu semenjak 2012,” ujarnya kepada Bisnis.com, Selasa 22 Januari 2019.
Namun demikian, Syarif menuturkan, terdapat satu faktor yang berpeluang mendorong pertumbuhan ekspor jasa tahun ini, yaitu penurunan pajak pertambahan nilai (PPN) ekspor jasa menjadi 0 persen.
Kebijakan itu diyakini akan menggairahkan ekspor jasa, mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya saing tenaga kerja di Indonesia, menciptakan lapangan kerja yang lebih luas, dan meningkatkan produktivitas ekonomi yang pada akhirnya akan berperan meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka panjang.
“Kami berharap penerapan PPN dengan tarif 0 persen dapat segera diberlakukan.”
Bagaimanapun, sebutnya, faktor ekonomi makro seperti nilai tukar rupiah dan pertumbuhan ekonomi global akan menjadi risiko terhadap kinerja ekspor jasa tahun ini.
Terlebih, lanjutnya, ekonomi Amerika Serikat (AS) diperkirakan melambat dari 2,9 persen pada 2018 menjadi 2,5 persen pada 2019. Ekonomi China juga diproyeksi turun dari 6,5 persen pada 2018 menjadi 6,2 persen pada 2019. Adapun, ekonomi Asean diestimasi terkoreksi dari 5,3 persen pada 2018 menjadi 5,2 persen tahun ini.
“Untuk negara-negara Asia, setiap ada 1 persen pertumbuhan ekonomi dunia, maka ekspor jasa meningkat sebesar 3,28 persen. Oleh sebab itu, sektor jasa tahun ini masih mungkin tumbuh, tetapi diperkirakan melambat dari tahun lalu,” tutur Syarif.
Lebih lanjut lagi, dia mengelaborasi, terdapat dua sektor yang akan berpengaruh pada pertumbuhan ekspor jasa tahun ini, yaitu sektor jasa perjalanan dan jasa bisnis lainnya. Kinerja jasa perjalanan ditopang oleh masuknya wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia.
Sepanjang tahun lalu, lanjut Syarif, pertumbuhan ekspor jasa perjalanan berkisar antara 8 persen-10 persen. Tahun ini, pertumbuhannya diperkirakan sama atau bahkan lebih rendah apabila tidak ada perbaikan kebijakan dari pemerintah.
Selain itu, sektor jasa bisnis lainnya merupakan kontributor ekspor jasa terbesar kedua meski selama beberapa tahun terakhir kurang baik kinerjanya.
“Pada 2013—2017, ekspor pada sektor ini justru mengalami kontraksi -20,7 persen. Dengan adanya komitmen pemerintah untuk merevisi aturan PPN ekspor jasa, diharapkan ekspor jasa bisnis lainnya dapat terdorong,” terang Syarif.
Di sisi lain, Asisten Deputi Moneter dan Neraca Pembayaran Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edi Prio Pambudi masih optimistis pertumbuhan sektor jasa sepanjang tahun ini dapat mencapai 6 persen.
“Saat ini yang paling penting adalah membenahi segera desain kebijakan, metode statistik, dan peningkatan keterampilan. Kami diminta menyiapkan informasi the winner sektor jasa yang akan didorong untuk ekspor,” ujarnya.
Sepanjang tahun ini, tegasnya, pemerintah akan memetakan sektor jasa mana yang harus didorong untuk ekspor dan penghasil devisa.Lalu, pemerintah bakal membuka kesempatan untuk peningkatan kapasitas pelaku jasa seperti vokasi dan menggali persoalan jasa pelayaran dan logistik yang membutuhkan insentif.