TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengingatkan bahwa kebijakan pemangkasan tarif pajak demi menaikkan rasio pajak harus dilihat secara komprehensif. Salah-salah, penerimaan pajak bisa jebol, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN bisa defisit, bahkan investasi dan pertumbuhan ekonomi bakal stagnan.
BACA: Ketimbang Pangkas Pajak Ala Prabowo, Pakar Lebih Sarankan Ini
"Jangan gegabah mau menurunkan tarif tanpa paham konteks," kata Prastowo dalam akun twitternya @prastow, 21 Januari 2019. "Kalau mau race to the bottom, dalam situasi dan kondisi sepeti ini kita akan kalah. Maka motifnya jangan itu. Perbaiki sistem perpajakan secara komprehensif."
Sebelumnya calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dalam beberapa kesempatan menyatakan bakal memangkas tarif pajak agar kesadaran membayar pajak meningkat dan penerimaan dari pajak juga bisa meningkat. Sejumlah tarif yang akan dipangkas adalah tarif pajak penghasilan atau PPh Badan dari 25 persen menjadi 17 persen, PPh pribadi akan dipotong sekitar 5 sampai 8 persen, lalu pajak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atau UMKM digital dari 0,5 persen menjadi 0 persen selama dua tahun.
BACA: Prabowo Janji Pangkas Pajak, Apakah Efektif Dongkrak Penerimaan?
Juru bicara Badan Pemenangan Nasional atau BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak, juga menyebutkan upaya menaikkan rasio pajak akan dilakukan dengan meningkatkan jumlah masyarakat yang membayar pajak. "Bagaimana caranya? salah satunya dengan cara ala Ibnu Khaldun, menurunkan tarif pajak sehingga memberikan efek luas terhadap beban pelaku usaha dan memiliki efek pengganda," kata Dahnil.
Akan tetapi, kata Prastowo, pemangkasan tarif hanya mungkin dilakukan jika basis pajak dan kepatuhan sudah meningkat. Data pada 2018, kata dia, telah menunjukkan perbaikan itu dimana penerimaan tumbuh 15 persen saat pertumbuhan ekonomi stagnan.
Kalaupun harus dibandingkan dengan negara lain, Prastowo mengambil contoh negara-negara Skandinavia di Eropa Utara. Ia merinci: tarif PPh pribadi di Swedia 61 persen, Denmark 58 persen, dan Finlandia 51 persen. Ada juga beberapa negara Eropa barat seperti Prancis 45 persen, Jerman 47 persen, dan Turki 35 persen.
Kendati demikian, tarif pajak tinggi membuat modal lari dan rakyat malas ternyata tidak terbukti di Eropa Utara. Di sana, tarif pajak yang tinggi tetap membuat rasio pajak dan produktivitas tetap tinggi. Ini terjadi karena penerimaan dan pengeluaran pemerintah sangat berkualitas. "Pemerintahannya komitmen pada hak warga negara, demokratis, aman, dan bahagia."