TEMPO.CO, Jakarta - Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto yang menyebutkan sejumlah Badan Usaha Milik Negara mulai bangkrut ditanggapi oleh Direktur Keuangan PT PLN (Persero), Sarwono Sudarto. Sarwono menyatakan kerugian yang dialami perusahaan sebenarnya sudah mulai berkurang terutama karena penguatan nilai tukar rupiah.
Baca: Ekonom Tak Sepakat Prabowo Naikkan Rasio Pajak untuk Gaji PNS
“Kerugian kurs yang lalu kan hanya pembukuan saja. Tapi hari ini kan nilai tukar di kisaran Rp 14.100 kan. Moga-moga turun lagi," ujar Sarwono, akhir pekan lalu di Jakarta. "Sehingga akhir tahun 2019 makin baik."
Sebelumnya, kritik soal BUMN itu dilontarkan Prabowo di hadapan para relawan Roemah Djoeang di Posko Roemah Djoeang, Jalan Wijaya I, Jakarta Selatan, Ahad, 13 Januari 2019. Kala itu ia membacakan pidato yang garis besarnya menyindir sikap para elite.
Bermula dari membahas kondisi kesejahteraan masyarakat, Prabowo kemudian bercerita soal kondisi BUMN saat ini. Ia menyebut perseroan milik negara mulai bangkrut. "Kita lihat sekarang BUMN-BUMN milik negara, milik rakyat, kebanggaan kita, kebanggaan kita satu-satu hancur, satu-satu bangkrut," kata dia. "Tanya aja itu, tanya Garuda, pilot-pilot. Tanya Pertamina, tanya PLN, tanya semua pabrik-pabrik milik negara."
Lebih jauh Sarwono menjelaskan bahwa PLN tengah mengkaji opsi-opsi pembiayaan paling minim resiko untuk investasi pembangkit listrik. Pengkajian opsi pembiayaan ini juga dilakukan untuk menepis anggapan bahwa BUMN setrum itu mengalami kesulitan finansial.
PLN, kata Sarwono, sebelumnya memutuskan melakukan reprofilling, yang bisa menekan beban bunga dari semula 8 persen menjadi 6 persen serta memperpanjang tenggat jatuh tempo hingga 30 tahun. Selanjutnya, opsi lain seperti Global Bond juga bisa menjadi sumber alternatif pendanaan, dan tidak menutup kemungkinan sumber pendanaan lain seperti pinjaman perbankan, ataupun sekuritisasi. “Semakin banyak opsi ya makin leluasa. Sukuk, lokal Bond, pinjaman, reprofiling,” ucapnya.
Menurut Sarwono, kinerja keuangan PLN juga masih dalam tahap terkendali sesuai rencana investasi yang telah dicanangkan. Secara kumulatif penambahan pinjaman PLN senilai Rp 139 triliun hingga akhir kuartal III tahun 2018 juga tergolong lebih rendah dibandingkan tambahan penyerapan investasi senilai Rp 269 triliun.
Sarwono juga memastikan belanja modal perseroan mengalami peningkatan tahun ini lantaran sejumlah proyek pembangkit mulai beroperasi pada 2019. Tak hanya itu, struktur rasio utang terhadap ekuitas perusahaan masih sehat. Dengan ekuitas senilai Rp 900 triliun, PLN masih mempunyai batas utang 300 persen atau hingga Rp 2.000 triliun.
Besarnya penyerapan investasi menunjukkan kinerja PLN masih sehat karena bisa memanfaatkan pendanaan internal. "Bahkan pada 2019 ini ada sejumlah proyek yang menghasilkan dan nanti akan nambah ke capex kami,” kata Sarwono.
Selama 3 tahun terakhir sejak 2015 yang berakhir pada kuartal III tahun 2018 PLN juga telah menekan penghematan subsidi listrik dari Rp 139 triliun. Sementara kontribusi fiskal negara dari peningkatan pajak dan dividen senilai Rp 115,4 triliun.
Belum lagi, kondisi penurunan harga minyak mentah dunia serta mulai menguatnya rupiah menjadi sinyal baik bagi PT PLN (Persero). Setiap nilai tukar rupiah menguat Rp 100 per dolar AS dapat mengurangi kerugian PLN hingga Rp 1,3 triliun.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sempat menembus Rp 15.000 per dolar AS sebelumnya membuat PLN harus membukukan rugi Rp 18,46 triliun pada kuartal III tahun 2018. Walhasil PLN saat itu mengalami kerugian kurs hingga Rp 17,32 triliun.
Baca: Prabowo Sebut BUMN Bangkrut, Jokowi: Bicara Pakai Data
Sedangkan pada periode yang sama tahun lalu, rugi kurs hanya sebesar Rp 2,2 triliun. Rugi kurs muncul karena sebagian besar pinjaman PLN dalam bentuk valas.
BISNIS