TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo menyebut Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno bakal menerapkan gagasan dan observasi Ibnu Khaldun untuk menggenjot rasio pajak menuju level 16 persen. Menurut teori begawan ekonomi asal Tunisia itu, target rasio pajak tersebut bisa dicapai bila tarif pajak rendah.
Baca: Prabowo Singgung Tax Ratio 2 Kali, Begini kata Pengamat Pajak
"Inti dari observasi Ibnu Khaldun itu adalah bahwa pada awal dinasti diperoleh penerimaan perpajakan yang besar dari penilaian atau tarif yang rendah. Pada akhir dinasti, penerimaan perpajakannya rendah, berasal dari tarif yang tinggi," ujar Dradjad melalui pesan tertulis kepada Tempo, Jumat malam, 18 Januari 2019.
Gagasan tersebut, ujar Dradjad, juga telah diterjemahkan oleh ekonom Amerika Serikat Arthur B. laffer menjadi Kurva Laffer. Laffer pernah menjadi anggota Economic Policy Advisory Board dari Presiden Ronald Reagan dan penasihat ekonomi Presiden AS Donald Trump dalam pemilu 2016.
Dalam kurva Laffer, penerimaan perpajakan adalah nol pada saat tarif nol persen, lalu naik menuju penerimaan pajak maksimum pada tarif optimal tertentu, kemudian turun lagi menuju 0 pada tarif seratus persen. "Berapa tarif yang optimal? Setiap negara tentu berbeda-beda, bahkan bisa berbeda antar periode di dalam satu negara," kata pakar ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) itu.
Pada perhelatan debat presiden dan wakil presiden kemarin, Prabowo mengatakan akan memperbaiki gaji para pejabat birokrat dan pegawai negeri sipil sebagai solusi mengurangi korupsi di pemerintahan. Adapun untuk menaikkan gaji PNS, ia mau meningkatkan rasio perpajakan dari 10 persen menjadi 16 persen atau sekitar US$ 60 miliar. Rencana tersebut dinilai kurang realistis oleh sejumlah ekonom karena dikhawatirkan mengganggu iklim bisnis.
Dradjad mengakui bukti empiris tentang Kurva Laffer memang masih diperdebatkan. Yang dipakai Laffer sebagai bukti adalah pajak di Rusia, negara-negara Baltik dan pajak dalam beberapa periode di Amerika Serikat," tutur dia. "Tapi argumen kontra Laffer juga cukup kuat, terutama oleh mereka yang anti terhadap Supply-Side Economics (SSE) nya Presiden Reagan."
Tak hanya implementasi Kurva Laffer, Dradjad mengatakan perlunya penerapan teknologi informasi secara masif untuk mengurangi lubang pajak di Indonesia guna mencapai target rasio perpajakan tersebut. Di samping, ia mengingatkan perlunya penegakan hukum yang tegas terhadap kasus yang inkracht. "karena ada tagihan puluhan triliun di sini," kata dia.
Selain itu, ia juga menyebut perlunya penyederhanaan ketentuan umum dan prosedur perpajakan, agar masyarakat nyaman masuk ke sistem pajak; perlunya penguatan SDM pajak dan pengawasan internal, sehingga intelijen dan pemeriksaan pajak bisa lebih efektif; hingga perlunya perlindungan fisik terhadap aparat pajak di daerah yang rawan. "Serta perlu lebih mengefektifkan obyek pajak, termasuk dalam PBB," kata dia lagi.
Hingga tahun 2017 rasio pajak dalam arti sempit yang dicapai pemerintah adalah sebesar 8,4 persen. Padahal, Presiden Joko Widodo menargetkan rasio pajak 16 persen ada 2019. Di era Jokowi, kata Dradjad, angka rasio perpajakan dalam arti luas terus merosot dari 11,6 persen pada 2015 menuju 10,8 persen pada 2016. Angka itu kembali anjlok menjadi 10,7 persen pada 2017 dan ditargetkan mencapai 11,6 persen pada 2018 dan 12,1 persen pada 2019.
Simak berita tentang Prabowo hanya di Tempo.co