TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebut langkah Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuannya di level 6,00 persen sudah sesuai dengan perkembangan kondisi saat ini.
BACA: IHSG Ditutup Menguat Seiring Ekonomi Nasional yang Masih Positif
"Ya orang Amerika juga enggak bergerak, kenapa jadi pusing," ujar Darmin di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis, 17 Januari 2019. Di samping itu, ia menyebut arus modal masuk juga berjalan.
Indikator masuknya arus modal ke dalam negeri, ujar Darmin, salah satunya adalah kondisi rupiah yang cenderung stabil belakangan ini. Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, nilai tukar rupiah pada hari ini adalah Rp 14.158 per dolar Amerika Serikat.
BACA: BI Pertahankan Suku Bunga Acuan 6 Persen
Dengan kondisi tersebut, Darmin menilai situasi perekonomian Indonesia kini sudah lebih tenang ketimbang sebelumnya. Sehingga, pemerintah kini mulai bisa menyusun kebijakan-kebijakan anyar untuk bisa menggenjot ekspor guna memperkecil defisit perdagangan. Defisit neraca perdagangan sepanjang 2018 mencapai angka US$ 8,57 miliar atau setara Rp 128,5 triliun dengan kurs dollar Amerika Serikat Rp 15 ribu.
Rapat Dewan Gubernur atau RDG Bank Indonesia pada 16-17 Januari 2019 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) 6 persen, Deposit Facility sebesar 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo meyakini bahwa tingkat suku bunga masih konsisten dengan upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman dan mempertahankan daya tarik aset keuangan domestik.
"Kami juga mempertimbangkan tren pergerakan suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan," kata Perry di kompleks Gedung BI, Jakarta, 17 Januari 2019.
Perry melihat pertumbuhan ekonomi dunia melandai serta ketidakpastian pasar keuangan tetap tinggi. Pertumbuhan ekonomi AS yang kuat pada 2018 diprakirakan mengalami konsolidasi pada 2019. Prospek konsolidasi pertumbuhan ekonomi AS dan ketidakpastian pasar keuangan diprakirakan menurunkan kecepatan kenaikan suku bunga kebijakan the Fed (FFR) pada 2019, setelah pada 19 Desember 2018, sesuai dengan ekspektasi, dinaikkan 25 basis poin menjadi 2,25-2,5 persen.
Di Eropa, kata Perry, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat, meskipun arah normalisasi kebijakan moneter bank sentral Eropa (ECB) pada 2019 tetap menjadi perhatian. Di negara berkembang, pertumbuhan ekonomi Tiongkok terus melambat dipengaruhi melemahnya konsumsi dan ekspor neto antara lain akibat pengaruh ketegangan hubungan dagang dengan AS, serta berlanjutnya proses deleveraging di sistem keuangan.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang melandai serta risiko hubungan dagang antar negara dan geo-politik yang masih tinggi berdampak pada tetap rendahnya volume perdagangan dunia. Sejalan dengan itu, harga komoditas global menurun, termasuk harga minyak dunia.
Baca berita tentang suku bunga lainnya di Tempo.co.
MIS FRANSISKA | HENDARTYO