TEMPO.CO, Jakarta - Masalah defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan diperkirakan tak lantas bisa hilang setelah ada penambahan kuota peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebanyak 4,4 juta jiwa.
Baca: BPJS Kesehatan Jawab Kritik Sandiaga soal Sistem Menyulitkan
BPJS Watch menilai penambahan kuota peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebanyak 4,4 juta jiwa memang berpotensi menambah pendapatan iuran bagi dana jaminan sosial BPJS Kesehatan. Dari hitungannya, kata Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, penambahan jumlah kuota ini berpotensi menambah dana sebesar Rp 1,2 triliun.
Angka tersebut muncul dari kalkulasinya, yaitu jumlah peserta 4,4 juta jiwa dikalikan iuran PBI Rp 23.000 dan dikalikan 12 bulan. "Hal ini baik, sehingga defisit 2019 bisa dikurangi,” kata Timboel belum lama ini.
Namun demikian, kata Timboel, potensi pendapatan ini juga bakal ditentukan oleh pendataan dan pendaftaran rakyat miskin. Dari catatannya, kendati kuota PBI selama ini 92,4 juta, tetapi yang riil didaftarkan adalah 92,3 juta jiwa. Dengan demikian, masih terdapat 100.000 –an PBI belum terdaftar.
Bila proses pendaftaran masih seperti saat ini dan belum sepenuhnya mengikuti proses di PP No.76 /2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, maka akan ada proses birokrasi yang menghambat rakyat miskin menjadi peserta PBI. "Rakyat miskin yang sudah direkomendasikan oleh Kemensos sebagai peserta PBI belum otomatis langsung jadi peserta PBI oleh BPJS Kesehatan pada saat itu juga,” ucap Timboel.
Selain itu, Timboel juga menyoroti soal distribusi Kartu Indonesia Sehat untuk peserta PBI. Dia mengklaim belum sepenuhnya peserta PBI menerima KIS. Dia menduga, masalah ini terjadi lantaran proses pencetakan dan pendistribusian kartu tersebut masih dilakukan secara bertahap.
Timboel menjelaskan, bila kartu KIS belum diterima oleh rakyat miskin, maka dipastikan mereka yang secara administratif terdaftar tidak mengetahui sebagai peserta JKN dari unsur PBI. “Hal ini salah satu faktor yang mendukung fakta bahwa utilitas JKN oleh peserta PBI masih relatif rendah.Memang agak aneh, JKN sudah berjalan 5 tahun tapi untuk mencetak dan mendistribusikan kartu KIS kok masih belum selesai,” katanya.
Oleh sebab itu, kata Timboel, BPJS Watch mendorong BPJS Kesehatan agar fokus menyegerakan pencetakan dan pendistribusian kartu KIS bagi rakyat miskin. Setidaknya, dalam 6 bulan kartu tersebut sudah selesai dicetak dan didistribusikan.
Di sisi lain, Timboel menilai proses verifikasi pendataan PBI juga mesti difokuskan oleh pemerintah. Menurut dia, proses verifikasi dan pendataan belum maksimal. Hal tersebut tercermin dari masih adanya kartu KIS yang tidak sesuai dengan data peserta PBI. “Selain itu juga masih ada orang mampu yang menjadi peserta PBI,” katanya.
Pemerintah, menurut Timboel, juga sebaiknya tidak hanya meningkatkan dari sisi kuantitas PBI, melainkan juga diimbangi dengan kualitas pelayanan kesehatan bagi mereka. Misalnya, peserta PBI mendapatkan bantuan transportasi dan akomodasi ketika harus dirujuk ke rumah sakit yang jauh dari tempat tinggal.
Selama ini pemerintah pusat dan BPJS Kesehatan hanya mengandalkan dan menyerahkan masalah ini ke masing-masing pemda. "Faktanya masih banyak pemda yang tidak peduli atas masalah tranportasi dan akomodasi rakyat miskin yang dirujuk ke luar kota,” kata Timboel.
Baca: Pejabat BPJS Ketenagakerjaan Bantah Memperkosa: Saya Membantu
Meski begitu, BPJS Watch menyambut baik langkah Pemerintah menambah kuota PBI. Timboel mengatakan, kabar ini harus disosialisasikan dan dipublikasikan, sehingga rakyat kurang mampu dapat mengakses layanan kesehatan melalui JKN.
BISNIS